kawasan Harmony, memasuki kawasan Monas melalui arah barat patung kuda
bundaran HI. Mendapat info bahwa Monas sudah penuh. Tapi aku butuh
membuat liputan kebenarannya.
Maka aku memotret dan membuat video di bundaran HI sebentar, kemudian
menerobos masuk mendekati panggung utama orasi di Monas, yang
sekaligus lolasi panggung imam jamaah sholat jumat.
Langkahku terhenti sekitar 25 meter dari panggung orasi, sebab lautan
umat sudah mustahil aku belah lagi untuk lebih dekat.
Dari titik itulah aku membuat liputan kesaksianku, sambil menggelar sajadah.
Selama tak kurang tiga jam berdiam di titik Barat Monas tepat kiri
imam yang sekaligus lokasi panggung utama orasi, cuaca tak sedetikpun
panas.
Matahari muncul sedikit tanpa membakar terik, selebihnya mendung.
Drone terus beterbangan di atasku, helikopter mengelilingi Monas dalam
hawa sejuk angin semilir.
Saat aku memejamkan mata sambil bersila di atas sajadahku sambil
mendengarkan orasi Aa Gym, aku bahkan merasa sauasananya seperti
sedang di pinggir pantai, adem-semilir. Padahal kabarnya ini aksi
demonstrasi.
Setelah orasi beberapa tokoh, tiba saatnya Muadzin mengumandangkan
adzan sebagai tanda dimulainya ibadah Jumat yang merupakan kewajiban
bagi setiap muslim lelaki akil balikh.
Saat itulah hujan mulai turun, seolah Allah sengaja mengirim air wudhu
untuk kami semua 7,4 juta jamaah.
Untuk orang sebanyak itu, coba pikir berapa ton kubik air yang
dibutuhkan untuk berwudhu sekalipun dalam situasi paling darurat?
Allah memahami kebutuhan kami, maka diturunkannya hujan yang tidak
deras untuk kami berwudhu.
MasyaAllah, jamaah pun diliputi rasa syukur dan haru. Sekitar 5 menit
hujan turun, indra penciumanku mengindera bau semerbak harum. Aku
berpikir sejenak, bau parfum siapakah ini yang sanggup semerbak dalam
guyuran hujan? Bukankah kami berkumpul 7,4 juta orang? Mestinya kan
pengab bau keringat di bawah hujan? Normalnya kan bau apag (tak sedap)
pakaian kotor berkeringat yang terbasahi air?
Tapi ini malah bau harum semerbak.
Aku coba berpikir lain: apakah ada yang sedang membakar dupa?
Ah mana mungkin ada dupa di bawah guyuran hujan? Lagipula ini bukan
bau dupa, dan mana mungkin ada jamaah sholat jumat yang membakar dupa?
Aku coba berpikir lain, dan harum semakin semerbak, lebih dari 5 menit
sudah harum ini.
Apakah ada sesorang yang menyemprotkan parfum mahal dalam jumlah besar ?
Aku lihat sekeliling, nihil. Di sisi kiri belakangku sekitar 50 meter
memang ada mobil tangki, tapi jelas bertuliskan Air Minum (untuk
Wudhu).
Harum semerbak bahkan kian jelas. Maka aku coba bertanya pada
orang-orang di sekelilingku dengan suara lumayan keras, sebab memang
belum Adzan kedua sebagai tanda dimulainya khutbah Jumat :
"Bapak-bapak dan Abang di sini semua apakah mencium bau harum yang
kuat?" semua menjawab "Ya, benar. Bau harum, wangi."
Aku lihat tadi ada seorang bapak usia 50an yang batuk saat hujan mulai
turun. Mungkin bapak ini sedang pilek. Aku langsung tanya:
"Apakah bapak juga mencium bau harum?"
beliau tegas menjawab: "Ya, benar bau harum !"
Aku bertanya sekali lagi dengan suara lebih keras pada semua jamaah di
sekelilingku:
"Apakah semua yang di sini mencium bau harum yang kuat?"
Semua serempak menjawab "Ya", sambil mengangguk. Sampai aku mengulagi
3x pertanyaanku pada jamaah, jawabnya pun sama: YA.
Aku melanjutkan pertanyaan:
"Parfum apakah yang bisa berbau harum di tengah guyuran hujan begini?"
Kebetulan saat itu hujan mulai sedikit deras, bersamaan dengan pertanyaanku.
Tidak ada jawaban.
Akun lanjutkan:
"Adakah di sekitar sini tanaman yang sedang berbunga, yang bapak dan
abang semua kenali dengan bau harum begini?"
Semua mengeleng, kembali tak ada jawaban.
Aku lanjutkan lagi:
"Lalu bau harum apa ini, yang kita semua bisa merasakannya dalam
guyuran hujan begini?"
Kali ini pertanyaanku melemah, bahkan sedikit tersekat.
Dan beberpa jamaah aku lihat mulai berubah raut mukanya, mereka mulai
berlinang air mata.
Tiba-tiba saja kami para lelaki telah menangis di bawah hujan.
"MasyaAllah... Subhanallah.. apakah Kau sedang mengutus malaikatmu
untuk kami ya Allah, dengan hujan ini?"
Seorang bapak berwajah keturunan Arab (tampaknya seorang ustsdz, atau
mungkin habib) spontan hampir berteriak sambi menangis. Kami semua pun
kian berlinang, tak kurang 100 orang saat itu di dekatku yang memberi
kesaksian tentang fenomena alam yang tak biasa ini. Muadzin pun
mengumandangkan adzan kedua, Habib Rieziq mulai berkhutbah sebagai
khatib sholat Jumat, dan bau harum tak tercium lagi, hujan terus
merintik.
Kami tetap khitmad menyimak khutbah Jum'at yang menggetarkan.
Dan aku menjadi saksi di antara 7,4 juta jamaah.
Itu jamaah sholat jumat terbesar yang pernah aku ikuti seumur hidup,
di bawah guyuran hujan.
Allahuakbar.
Jakarta, 2 Desember 2016 (Arik S. Wartono)
Komentar
Posting Komentar