Bapak Tarban - Kisah Perjalanan Sang Pertapa Tua |
Walaupun Bapak Tarban adalah seorang ahli hitung kejawen yang diakui dan dituakan oleh masyarakatnya, namun dia sendiri sering menghadapi keanehan pada dirinya sendiri pada waktu di menggelar hajatan pernikahan atau khitanan anak-anaknya. Bapak Tarban selalu menggelar pertunjukkan wayang kulit. Walaupun rumahnya terbuat dari pagar bambu dan beratapkan rumbia, tapi selera kesenian dan kecintaannya pada wayang kulit membuat dia selalu menggelar pertunjukkan wayang kulit. Dan dengan perhitungannya sendiri yang "otak atik mathuk" maka pagelaran wayang pun diselenggarakan dalam suasana yang meriah. Namun sudah hampir dipastikan dan masyarakat sekitar juga sudah sering menyaksikannya kalau pertunjukkan wayang kulit yang me riah itu bakalan kalang kabut karena diguyur hujan petir dan badai sampai terjadi banjir. Hal yang sama juga terjadi kalau Bapak Tarban sedang memayu welit / mengganti atap rumbia rumah miliknya, walaupun sebenarnya pada waktu hajatan maupun memayu welit sedang musim kemarau!.
Pada suatu waktu saya bertanya kepada Bapak Tarban, apakah Bapak Tarban percaya pada adanya Allah. Maka diapun menjawab : Gusti Allah (dengan lafal gusti Alah) itu ini, Gusti Allah itu ini, jawabnya dengan tatap mata yang tajam kepadaku sambil menunjuk pada dada beliau sendiri yang kelihatan kurus dan keriput karena Bapak Tarban berperawakan kurus namun jangkung, berkumis tebal dan panjang, namun selama di rumah Bapak Tarban jarang mengenakan baju atau kaos karena sering mengeluh kegerahan. Yang dia kenakan hanyalah kathok kolor komprang khas orang jawa. Kemudian saya tanyakan lagi : apakah Bapak mengaku sebagai Gusti Allah? Maka jawabnya : Ya! Akulah Gusti Allah, karena tanpa Aku, Gusti Allah tak ada…
Sayapun terdiam, diapun terdiam, tenggelam dalam gelombang kesunyian yang sebenarnya ada gejolak membara antara mendakwa Bapak telah tersesat ataukah telah bodohkah aku memahami semua perkataannya.
Saya lantas berfikir, tidak jauh juga Bapakku ini dari Fir'aun, tapi saya juga tidak lantas mendakwa beliau seperti itu, saya mencoba memahami perkataannya karena saya juga pernah belajar filsafat dan tasawuf yang sering mendengar ucapan seperti itu, barangkali Bapak Tarban sedang dalam puncak kemakrifatan dan dalam fase wihdatul wujud seperti yang dialami oleh Syekh Siti Jenar yang terkenal dengan ajaran Manunggaling Kawulo lan Gusti itu, ataukah barangkali Bapak Tarban sedang berada di jurang kebodohan yang paling dalam sehingga keluar perkataan dan pengertian keberadaan Allah tergantung pada keberadaan dan pengakuan manusia yang maha lemah dan maha bodoh, Allah ada karena diakui keberadaannya oleh manusia dan Allah menciptakan manusia agar Allah dikenal keberadaannya dan diakui eksistensinya. Sehingga keberadaan Allah tergantung pada pengakuan manusia. Refleksinya manusia itu sendiri adalah Gusti Allah, begitukah aqidah bapakku? Entahlah. Pada posisi manakah Bapak Tarban pada saat itu, dan ketika hal ini saya tanyakan pada seorang Ustadz, maka jawabnya hanya singkat : Apakah Bapak Tarban bisa menciptakan makanan untuk dirinya sendiri ?
Pada suatu hari saya bertanya kepada Bapak Tarban tentang kenapa dia mau melakukan pertapaan selama 25 tahun dengan bersusah payah, dan apakah yang akan dia dapatkan, maka jawab beliau bahwa melakukan topo broto adalah amanat dari Yang Maha Kuasa dan setelah selesai melakukan pertapaan maka dia akan mendapatkan kanugrahan atau karunia berupa keagungan.
Dan ketika saya tanyakan kepadanya apakah kanugrahan yang akan dia dapatkan, maka Bapak Tarban menjawab bahwa kanugrahan itu tidak akan dia ceritakan kepada siapapun karena itu adalah hal ghaib yang akan mendatangkan ketakaburan bila dia mengungkapkannya. Kali ini Bapak Tarban tidak mau untuk menceritakan perihal masa depan dirinya sendiri walaupun mata batinnya mampu menembus kejadian-kejadian yang akan menimpa tanah airnya, barangkali sebuah pantangan, atau sebuah teka-teki besar karena mungkin jiwa manusia adalah sebuah miniatur alam semesta yang hakikatnya adalah lebih luas dan dalam dari alam semesta itu sendiri. Tetapi sempat juga dikatakan bahwa saya adalah sebagian kecil dari anugerah itu, padahal saya tidak tahu apa keistimewaanku di hadapannya, namun yang saya rasakan saya adalah menantu yang disayang dia walaupun pandangan batin kita bertolak belakang, dan padahal juga saya melamar anaknya yang bernama Rugiyati tidak membawakan apa-apa untuknya sebagai tanda hormat calon menantu kepada calon mertuanya. Saya melamar anaknya seorang diri karena memang hubunganku dengan calon istriku tidak mendapat restu dari kedua orang tuaku, dan saya juga yang menentukan jam, tanggal dan hari pernikahanku walaupun saya tahu Bapak Tarban adalah seorang ahli hitung, tapi diapun menuruti keinginanku. Juga saya ceritakan kepadanya tentang tidak direstuinya hubunganku dengan anaknya, dan terpaksa saya tempuh jalan pintas untuk kawin lari.... (bersambung)
Komentar
Posting Komentar