Seandainya gubernur Bali seorang Muslim, pasti warga Bali tidak setuju.
(Jangankan soal gubernur. Waktu saya mengangkat isu "wisata halal di
Bali" pun, banyak warga Bali yang protes, marah-marah, bahkan membully
saya. Padahal itu baru soal wisata. Apalagi soal gubernur, pasti lebih
keras lagi penolakannya).
Saya seorang muslim, dan saya pun menganggap ANEH jika gubernur Bali
seorang muslim. Sebab pemimpin suatu daerah seharusnya berasal dari
golongan mayoritas.
Andai mayoritas penduduk Jakarta adalah umat Katholik, maka saya pun
RELA jika gubernurnya orang Katholik. Walau saya tidak setuju, ya
gimana lagi. Memang wajar jika mayoritas yang memimpin.
Ini bukan soal rasis atau SARA. Ini semata-mata soal DEMOKRASI. Sebab
di dalam demokrasi, seharusnya suara terbanyaklah yang memimpin.
Betul?
Anda selama ini mengagung-agungkan DEMOKRASI. Dalam demokrasi, yang
berlaku adalah SUARA MAYORITAS.
Mayoritas penduduk Bali adalah Hindu. Maka wajar jika gubernurnya orang Hindu.
Mayoritas penduduk China adalah Budha. Jadi wajar jika pemimpinnya orang Budha.
Anehnya:
Di Indonesia prinsip ini TIDAK boleh diberlakukan. Padahal Indonesia
juga menganut sistem demokrasi.
Jika merujuk pada prinsip demokrasi, seharusnya yang menjadi gubernur
DKI adalah seorang muslim. Prinsip seperti ini sudah diberlakukan di
semua tempat: MAYORITAS YANG MEMIMPIN. Dan itu dianggap biasa-biasa
saja.
Namun saat kita ingin menerapkan prinsip ini di Jakarta, saat kita
berkata Gubernur DKI haruslah muslim, eh... tiba-tiba kita dicap
rasis, SARA, menebar kebencian, memecah-belah bangsa, dan seterusnya.
ANEH SUNGGUH ANEH !!!
Lebih aneh lagi ketika kita dilarang bawa-bawa agama dalam kampanye
gubernur DKI. Tapi mereka sendiri justru bawa-bawa agama dengan cara
membuat kampanye, "Saya Muslim, Saya Pilih Ahok."
Sungguh STANDAR GANDA sekali !!!
NB: Umat Islam Jakarta harus memilih PEMIMPIN MUSLIM, bukan hanya
karena ajaran Islam melarang kita memilih pemimpin dari luar kalangan
Muslim. Tapi juga karena KITA MAYORITAS. Karena kita hidup di negara
DEMOKRASI. Betul?
(Jangankan soal gubernur. Waktu saya mengangkat isu "wisata halal di
Bali" pun, banyak warga Bali yang protes, marah-marah, bahkan membully
saya. Padahal itu baru soal wisata. Apalagi soal gubernur, pasti lebih
keras lagi penolakannya).
Saya seorang muslim, dan saya pun menganggap ANEH jika gubernur Bali
seorang muslim. Sebab pemimpin suatu daerah seharusnya berasal dari
golongan mayoritas.
Andai mayoritas penduduk Jakarta adalah umat Katholik, maka saya pun
RELA jika gubernurnya orang Katholik. Walau saya tidak setuju, ya
gimana lagi. Memang wajar jika mayoritas yang memimpin.
Ini bukan soal rasis atau SARA. Ini semata-mata soal DEMOKRASI. Sebab
di dalam demokrasi, seharusnya suara terbanyaklah yang memimpin.
Betul?
Anda selama ini mengagung-agungkan DEMOKRASI. Dalam demokrasi, yang
berlaku adalah SUARA MAYORITAS.
Mayoritas penduduk Bali adalah Hindu. Maka wajar jika gubernurnya orang Hindu.
Mayoritas penduduk China adalah Budha. Jadi wajar jika pemimpinnya orang Budha.
Anehnya:
Di Indonesia prinsip ini TIDAK boleh diberlakukan. Padahal Indonesia
juga menganut sistem demokrasi.
Jika merujuk pada prinsip demokrasi, seharusnya yang menjadi gubernur
DKI adalah seorang muslim. Prinsip seperti ini sudah diberlakukan di
semua tempat: MAYORITAS YANG MEMIMPIN. Dan itu dianggap biasa-biasa
saja.
Namun saat kita ingin menerapkan prinsip ini di Jakarta, saat kita
berkata Gubernur DKI haruslah muslim, eh... tiba-tiba kita dicap
rasis, SARA, menebar kebencian, memecah-belah bangsa, dan seterusnya.
ANEH SUNGGUH ANEH !!!
Lebih aneh lagi ketika kita dilarang bawa-bawa agama dalam kampanye
gubernur DKI. Tapi mereka sendiri justru bawa-bawa agama dengan cara
membuat kampanye, "Saya Muslim, Saya Pilih Ahok."
Sungguh STANDAR GANDA sekali !!!
NB: Umat Islam Jakarta harus memilih PEMIMPIN MUSLIM, bukan hanya
karena ajaran Islam melarang kita memilih pemimpin dari luar kalangan
Muslim. Tapi juga karena KITA MAYORITAS. Karena kita hidup di negara
DEMOKRASI. Betul?
Komentar
Posting Komentar