Jakarta itu sangat penting. Tentu karena ia ibukota sekaligus pusat
kebudayaan nasional. Apa yang menjadi tren di Jakarta segera menjadi
tren pula di daerah daerah. Cukup satu contoh saja: Di daerah-daerah
sekarang sebagian anak-anak muda sudah omong 'lu-gua'. Dulu, di
daerah-daerah, 'lu-gua' itu dianggap omongan sombong dan tak bertata
krama. Karena itu, pemimpin Jakarta sangat penting, karena kekuatan
pengaruhnya itu.
Pertanyaannya sekarang, apakah kekuatan pengaruh itu mau diisi dengan
yang baik atau yang jelek? Semua manusia yang sehat dan berakal budi
pasti menginginkan yang baik. Para guru, orangtua, bahkan orang awam,
tetap ingin bersikap santun dan berkata-kata baik dan sebaliknya,
ingin disikapi dengan sopan dan baik oleh orang lain, apalagi oleh
pemimpinnya.
Semua agama langit, Yahudi, Nasrani dan Islam sama-sama mengamanatkan
berkata-kata baik kepada manusia, selain tidak menyerupakan Tuhan
dengan yang lain, hormat dan kepada ibu-bapa, kerabat, fakir miskin
dan anak yatim.
Tak pakai rujukan agama pun tetap sikap santun dan perkataan baik itu
penting. Karena itu carilah pemimpin yang santun dan baik perkataanya.
Jakarta harus dipimpin orang yang santun dan baik perkataannya, di
samping kemampuan memimpin.
BegItu. Kok jadi dibikin rumit? Sampai perlu berkali-kali perdebatan
terbuka dan menguras energi negatif -- kebencian dan caci maki.
"Buat apa santun kalo korupsi," bunyi ungkapan yang mulai populer.
Lha, kesantunan tetap kebaikan, korupsi tetap kejahatan. Jangan karena
seorang tidak korupsi lantas jadi boleh berkata-kata nista. Suatu saat
seorang pemimpin melakukan adegan seks di depan umum, misalnya,
akankah ditanggapi dengan ungkapan: "Tak apa-apa mesum, asal tidak
korupsi."
Dan kenapa ngotot dengan dalil "tak apa-apa kasar asal tidak korupsi"?
Masak dari 12 jutaan warga DKI tak ada satu pun orang yang tidak
korup, tegas, sekaligus berkata-kata baik dan sopan? Pasti ada. Cukup
banyak.
Tidak akan ketemu kalo sengaja nyari yang kotor dan tengik. (Penulis :
Kafil Yamin)
kebudayaan nasional. Apa yang menjadi tren di Jakarta segera menjadi
tren pula di daerah daerah. Cukup satu contoh saja: Di daerah-daerah
sekarang sebagian anak-anak muda sudah omong 'lu-gua'. Dulu, di
daerah-daerah, 'lu-gua' itu dianggap omongan sombong dan tak bertata
krama. Karena itu, pemimpin Jakarta sangat penting, karena kekuatan
pengaruhnya itu.
Pertanyaannya sekarang, apakah kekuatan pengaruh itu mau diisi dengan
yang baik atau yang jelek? Semua manusia yang sehat dan berakal budi
pasti menginginkan yang baik. Para guru, orangtua, bahkan orang awam,
tetap ingin bersikap santun dan berkata-kata baik dan sebaliknya,
ingin disikapi dengan sopan dan baik oleh orang lain, apalagi oleh
pemimpinnya.
Semua agama langit, Yahudi, Nasrani dan Islam sama-sama mengamanatkan
berkata-kata baik kepada manusia, selain tidak menyerupakan Tuhan
dengan yang lain, hormat dan kepada ibu-bapa, kerabat, fakir miskin
dan anak yatim.
Tak pakai rujukan agama pun tetap sikap santun dan perkataan baik itu
penting. Karena itu carilah pemimpin yang santun dan baik perkataanya.
Jakarta harus dipimpin orang yang santun dan baik perkataannya, di
samping kemampuan memimpin.
BegItu. Kok jadi dibikin rumit? Sampai perlu berkali-kali perdebatan
terbuka dan menguras energi negatif -- kebencian dan caci maki.
"Buat apa santun kalo korupsi," bunyi ungkapan yang mulai populer.
Lha, kesantunan tetap kebaikan, korupsi tetap kejahatan. Jangan karena
seorang tidak korupsi lantas jadi boleh berkata-kata nista. Suatu saat
seorang pemimpin melakukan adegan seks di depan umum, misalnya,
akankah ditanggapi dengan ungkapan: "Tak apa-apa mesum, asal tidak
korupsi."
Dan kenapa ngotot dengan dalil "tak apa-apa kasar asal tidak korupsi"?
Masak dari 12 jutaan warga DKI tak ada satu pun orang yang tidak
korup, tegas, sekaligus berkata-kata baik dan sopan? Pasti ada. Cukup
banyak.
Tidak akan ketemu kalo sengaja nyari yang kotor dan tengik. (Penulis :
Kafil Yamin)
Komentar
Posting Komentar