Forummuslim.org - Katib Syuriyah PCNU Jember Kiai M. N Harisudin yang
juga Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember menjelaskan bahwa Islam Nusantara
merupakan Islam yang hidup dan berkembang di Nusantara.
"Bukan Islam yang hidup dan berkembang dari Nusantara, atau juga bukan
Islam yang tumbuh dan berkembang untuk Nusantara. Jadi, Islam
Nusantara adalah Islam yang tumbuh dan berkembang di Nusantara yang
memiliki karakter inklusif dan moderat," imbuhnya.
Ia menyampaikan hal itu dalam diskusi rutin yang diselesenggarakan
Eksan Institute di Markas Eksan Institute, Perum Milenia Mangli
Jember, Jawa Timur, Sabtu (12/3). Kegiatan diawali dengan jalan santai
bersama yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang dihadiri tak
kurang 150 peserta dari berbagai kalangan muda, antara lain HMI, PMII,
IPNU, IPPNU, Fatayat NU, Muslimat NU, dan sebagainya. Pembicara
lainnya adalah Ketua DPC Partai Nasdem yang juga Anggota DPRD Jawa
Timur Moh Eksan.
Menurut Kiai Harisudin, kehadiran Islam Nusantara, menjadi "hipnotis"
tersendiri dalam spektrum peradaban dunia. Bahkan, pengasuh Pesantren
Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember ini setuju dengan pendapatnya Prof
Abdul Karim yang menyebutkan bahwa Islam Nusantara akan menjadi daerah
paling cerah dalam dunia Islam. Demikian ini karena kehidupan
mayoritas muslim di Timur Tengah, Benua Kecil lndia, Afrika Utara, dan
Afrika Tengah, sedang terhimpit konflik dan keganasan. Tak heran,
seperti disampaikan oleh Prof Nur Syam, Sekjen Kemenag RI, saat acara
di Malang, Wapres Jususf Kalla di tahun 2016 menolak pengiriman
mahasiswa Indonesia ke Timur Tengah, karena hanya akan belajar konflik
dan konflik belaka.
"Dengan demikian, kiblat peradaban Islam bukan lagi Timur Tengah, tapi
Indonesia. Indonesia layak untuk jadi episentrum peradaban dunia. Dari
segala aspek, Indonesia paling layak di seluruh dunia. Layaknya ini
ya karena tawaran Islam Nusantara yang inklusif, toleran dan juga
moderat," kata Kiai Harisudin yang juga Wakil Ketua Lembaga Ta'lif wa
an-Nasyr NU Jawa Timur tersebut.
Lebih lanjut, Kiai Harisudin juga menyebut ciri Islam Nusantara.
Setidaknya, ada beberapa ciri Islam Nusantara. Yaitu, pertama, adanya
pengalaman sejarah yang panjang. Kedua, ide pribumisasi Islam. Ketiga
penghargaan dan keteguhan terhadap kearifan lokal.
"Keempat, adanya institusi atau kelompok yang mengedepankan wacana
Islam Inklusif dan toleran. Kelima, peran Ormas dan para pemikir
muslim Indonesia yang membebaskan dan juga mencerahkan," jelas kiai
muda yang juga Kaprodi Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana Islam di
Fakultas Syari'ah IAIN Jember tersebut.
Islam Nusantara, menurut Kiai Harisudin, akan terus berdialektika
dengan sejarah sosial umat Islam di Indonesia. Islam Nusantara bisa
menerima perubahan sepanjang ada'illat (alasan darar) perubahan itu
sendiri. "Jadi, Islam Nusantara tidak berhenti di sini dan saat ini.
Islam Nusantara akan terus melakukan evaluasi diri secara terus
menerus untuk menyuguhkan yang terbaik dalam peradaban dunia," tutur
pengurus Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Jember tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Moch Eksan menyampaikan bahwa tema Islam
Nusantara muncul bersamaan dengan agenda muktamar Nahdlatul Ulama (NU)
di Jombang, Agustus 2015 yang silam. Tema ini, menurut aktivis muda
PCNU Jember ini, merupakan tawaran paradigma keberagamaan, baik dari
sisi manhajul fikr (metode berpikir) maupun manhajul 'amal (metode
bertindak).
NU menawarkan Islam Nusantara ini sebagai hasil dari dialektika
intelektualisme dan sosial kultural antara NU dan Indonesia.
Sebagai sebuah tawaran, tambah Eksan, Islam Nusantara ini didukung
sekaligus juga ditentang. Hal tersebut, menurut anggota DPRD Jatim
ini, satu hal yang wajar sebagai konsekuensi logis dari dinamika
diskursus keislaman Indonesia kontemporer yang terbuka dan demokratis.
Para intelektual Islam NU barang tentu banyak yang mendukung.
"Bahkan tokoh-tokoh sekaliber Prof Dr. Quraish Shihab, M.A., Prof. Dr.
Azyumardi Azra, M.A, juga mengamini tawaran NU ini. Tak kurang juga
seorang Islamis Indonesianis asal belanda Prof. Dr. Martin Van
Brussen, M.A. mengapresiasi tawaran NU dalam mengembangkan Islam
damai, santun, dan anti kekerasan," tandasnya.
Selain banyak dukungan di atas, juga terdapat kelompok dan tokoh yang
menentang. Semisal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela
Islam (FPI). HTI memandang bahwa tawaran Islam Nusantara NU tidaklah
fair dengan membanding-bandingkan negara Indonesia dan negara Timur
Tengah hari ini. Kondisi yang bertolak belakang antara Indonesia dan
negara Timur Tengah merupakan bagian dari skenario skularisme global.
FPI bukan hanya menentang tapi juga mengecam Islam Nusantara sebagai
cara berfikir yang sesat menyesatkan. Habib Rizieq menuding bahwa
Islam Nusantara itu tak lebih dari propaganda dari Zionis yang berisi
gerakan pemikiran dan gerakan sosial yang anti-Islam. Ia mencurigai,
semula memang anti-Arab tapi berujung anti-Islam. (nu.or.id)
juga Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember menjelaskan bahwa Islam Nusantara
merupakan Islam yang hidup dan berkembang di Nusantara.
"Bukan Islam yang hidup dan berkembang dari Nusantara, atau juga bukan
Islam yang tumbuh dan berkembang untuk Nusantara. Jadi, Islam
Nusantara adalah Islam yang tumbuh dan berkembang di Nusantara yang
memiliki karakter inklusif dan moderat," imbuhnya.
Ia menyampaikan hal itu dalam diskusi rutin yang diselesenggarakan
Eksan Institute di Markas Eksan Institute, Perum Milenia Mangli
Jember, Jawa Timur, Sabtu (12/3). Kegiatan diawali dengan jalan santai
bersama yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang dihadiri tak
kurang 150 peserta dari berbagai kalangan muda, antara lain HMI, PMII,
IPNU, IPPNU, Fatayat NU, Muslimat NU, dan sebagainya. Pembicara
lainnya adalah Ketua DPC Partai Nasdem yang juga Anggota DPRD Jawa
Timur Moh Eksan.
Menurut Kiai Harisudin, kehadiran Islam Nusantara, menjadi "hipnotis"
tersendiri dalam spektrum peradaban dunia. Bahkan, pengasuh Pesantren
Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember ini setuju dengan pendapatnya Prof
Abdul Karim yang menyebutkan bahwa Islam Nusantara akan menjadi daerah
paling cerah dalam dunia Islam. Demikian ini karena kehidupan
mayoritas muslim di Timur Tengah, Benua Kecil lndia, Afrika Utara, dan
Afrika Tengah, sedang terhimpit konflik dan keganasan. Tak heran,
seperti disampaikan oleh Prof Nur Syam, Sekjen Kemenag RI, saat acara
di Malang, Wapres Jususf Kalla di tahun 2016 menolak pengiriman
mahasiswa Indonesia ke Timur Tengah, karena hanya akan belajar konflik
dan konflik belaka.
"Dengan demikian, kiblat peradaban Islam bukan lagi Timur Tengah, tapi
Indonesia. Indonesia layak untuk jadi episentrum peradaban dunia. Dari
segala aspek, Indonesia paling layak di seluruh dunia. Layaknya ini
ya karena tawaran Islam Nusantara yang inklusif, toleran dan juga
moderat," kata Kiai Harisudin yang juga Wakil Ketua Lembaga Ta'lif wa
an-Nasyr NU Jawa Timur tersebut.
Lebih lanjut, Kiai Harisudin juga menyebut ciri Islam Nusantara.
Setidaknya, ada beberapa ciri Islam Nusantara. Yaitu, pertama, adanya
pengalaman sejarah yang panjang. Kedua, ide pribumisasi Islam. Ketiga
penghargaan dan keteguhan terhadap kearifan lokal.
"Keempat, adanya institusi atau kelompok yang mengedepankan wacana
Islam Inklusif dan toleran. Kelima, peran Ormas dan para pemikir
muslim Indonesia yang membebaskan dan juga mencerahkan," jelas kiai
muda yang juga Kaprodi Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana Islam di
Fakultas Syari'ah IAIN Jember tersebut.
Islam Nusantara, menurut Kiai Harisudin, akan terus berdialektika
dengan sejarah sosial umat Islam di Indonesia. Islam Nusantara bisa
menerima perubahan sepanjang ada'illat (alasan darar) perubahan itu
sendiri. "Jadi, Islam Nusantara tidak berhenti di sini dan saat ini.
Islam Nusantara akan terus melakukan evaluasi diri secara terus
menerus untuk menyuguhkan yang terbaik dalam peradaban dunia," tutur
pengurus Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Jember tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Moch Eksan menyampaikan bahwa tema Islam
Nusantara muncul bersamaan dengan agenda muktamar Nahdlatul Ulama (NU)
di Jombang, Agustus 2015 yang silam. Tema ini, menurut aktivis muda
PCNU Jember ini, merupakan tawaran paradigma keberagamaan, baik dari
sisi manhajul fikr (metode berpikir) maupun manhajul 'amal (metode
bertindak).
NU menawarkan Islam Nusantara ini sebagai hasil dari dialektika
intelektualisme dan sosial kultural antara NU dan Indonesia.
Sebagai sebuah tawaran, tambah Eksan, Islam Nusantara ini didukung
sekaligus juga ditentang. Hal tersebut, menurut anggota DPRD Jatim
ini, satu hal yang wajar sebagai konsekuensi logis dari dinamika
diskursus keislaman Indonesia kontemporer yang terbuka dan demokratis.
Para intelektual Islam NU barang tentu banyak yang mendukung.
"Bahkan tokoh-tokoh sekaliber Prof Dr. Quraish Shihab, M.A., Prof. Dr.
Azyumardi Azra, M.A, juga mengamini tawaran NU ini. Tak kurang juga
seorang Islamis Indonesianis asal belanda Prof. Dr. Martin Van
Brussen, M.A. mengapresiasi tawaran NU dalam mengembangkan Islam
damai, santun, dan anti kekerasan," tandasnya.
Selain banyak dukungan di atas, juga terdapat kelompok dan tokoh yang
menentang. Semisal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela
Islam (FPI). HTI memandang bahwa tawaran Islam Nusantara NU tidaklah
fair dengan membanding-bandingkan negara Indonesia dan negara Timur
Tengah hari ini. Kondisi yang bertolak belakang antara Indonesia dan
negara Timur Tengah merupakan bagian dari skenario skularisme global.
FPI bukan hanya menentang tapi juga mengecam Islam Nusantara sebagai
cara berfikir yang sesat menyesatkan. Habib Rizieq menuding bahwa
Islam Nusantara itu tak lebih dari propaganda dari Zionis yang berisi
gerakan pemikiran dan gerakan sosial yang anti-Islam. Ia mencurigai,
semula memang anti-Arab tapi berujung anti-Islam. (nu.or.id)
Komentar
Posting Komentar