Kurang lebih selama
satu bulan ini, saya
lebih tertarik untuk
membaca kitab atau
buku tentang Imam
Abu Hasan al-Asy'ari
dan Mazhab
Asy'ariyyah.
Ketertarikan saya
untuk membaca buku
tentang Mazhab
Asy'ariyyah itu
dilatarbelakangi oleh
adanya tuduhan sesat
dan bahkan kufur
terhadap mazhab
Asy'ariyyah, serta
penjelasan Hadlrotus
Syaikh Hasyim Asy'ari
bahwa sebelum tahun
1330 H, masyarakat
Islam Nusantara
menjadikan mazhab
Asy'ariyyah sebagai
pijakan di dalam
memahami aqidah
Islam.
Namun, dari kedua
alasan itu, tuduhan
sesat dan juga kufur
yang lebih banyak
memotivasi saya
untuk mempelajari
kitab dan buku ilmu
kalam, meskipun
sebelumnya pernah
saya tinggalkan.
Secara jujur diakui
bahwa kajian ilmu
kalam merupakan
kajian yang sulit dan
membosankan.
Dikatakan sulit, karena
bahasan ilmu kalam
cenderung mendekati
bahasan filsafat yang
membutuhkan
ketelitian, ketekunan
dan juga kesabaran.
Ilmu kalam dan ilmu
filsafat adalah
bersaudara, meskipun
tidak sama.
Perbedaannya terletak
kepada penempatan
dalil-dalil agama
sebagai pijakan
berpikir. Filsafat dapat
dikatakan lebih berani
dibandingkan ilmu
kalam. Keberanian itu
terletak kepada
pertanyaan-
pertanyaan kritis yang
diajukan terhadap
dalil, bahkan jika
memungkinkan
meragukan dalil itu
sendiri. Berbeda
dengan ilmu kalam.
Dalam perspektif
Asy'ariyyah, dalil tetap
dipandang sebagai
sumber karena tidak
mungkin rasio dapat
berdiri secara mandiri
tanpa ditemani oleh
dalil. Namun, yang
menjadi
pertanyaannya adalah
bagaimana kemudian
"teman" atau dalil itu
diposisikan. Di depan,
di samping atau di
belakang. Di sinilah
saya kira, jawaban dari
pertanyaan kenapa
ilmu kalam tidak
disukai--atau bahkan
diharamkan di Saudi
Arabia.
Seperti telah diketahui
bersama, bahwa
beberapa penulis
Indonesia telah
memulai sebuah
"gebrakan" baru
melakukan
dekonstruksi terhadap
pemikiran ilmu kalam.
Dekonstruksi
dilakukan dengan
menempatkan
mazhab Asy'ariyyah
sebagai mazhab yang
sesat, seperti dapat
dibaca di karya Yazid
Abdul Qadir Jawwas--
Mulia dengan Manhaj
Salaf--dan karya
Firanda Andirja--
Ajaran Imam Assyafi'i
yang Ditinggalkan.
Firanda Andirja
bahkan lebih keras
lagi di dalam
memberikan vonis. Di
dalam karyanya itu,
seolah mazhab
Asy'ariyyah "haram"
duduk berdampingan
dengan Mazhab Fikih
Imam Assyafi'i, sebuah
simpulan dan vonis
yang saya kira tergesa-
gesa. Tampaknya, apa
yang diutarakan
kedua penulis
tersebut, tidak
terlepas dari pengaruh
para ulama Saudi
Arabia yang memang
tidak berkenan
dengan keberadaan
Mazhab Asy'ariyyah.
Bahkan dapat
disimpulkan bahwa
ada upaya yang
sistematis, masif dan
bersifat global untuk
melenyapkan mazhab
Asy'ariyyah dari peta
pemikiran Islam. Dan
tidak tertutup
kemungkinan kedua
penulis itu, beserta
kawan-kawan
seperjuangannya
berada di dalam
rencana besar
tersebut.
Terkait dengan
tantangan yang
dihadapi itu, saya
mendapat kesulitan
untuk memperoleh
informasi yang
sistematis tentang
Mazhab Asy'ariyyah.
Kitab-kitab Asy'ariyyah
yang diajarkan di
pesantren-pesantren
pada umumnya
bersikap terapan
(applied). Kebanyakan
santri agak sulit
mendapatkan "cerita"
yang runtut tentang
Imam Asy'ari dan
Mazhab Asy'ariyyah.
Pemahaman tentang
mazhab Asy'ariyyah
yang diperoleh para
santri adalah
pemahaman yang
bersifat end-use atau
yang siap jadi. Para
santri hanya
memahami mazhab
Asy'ariyyah hanya dari
perkenalan tentang
sifat dua puluh yang
dihapal sejak level
Ibtidaiyah dan
kemudian dikaji di
level Aliyyah. Uraian
runtut tentang
Mazhab Asy'ariyyah
baru dipahami ketika
para santri
menginjakkan kaki di
bangku Fakultas
Ushuluddin, di kampus-
kampus dalam negeri,
itu pun tidak dalam.
Problematika itu
menjadi masalah
tersendiri bagi
kalangan santri
terutama ketika
menjawab pertanyaan
tentang apa itu
mazhab Asy'ariyyah.
Memang, Ustad Idrus
Ramli memberi
penjelasan tentang
apa itu Mazhab
Asy'ariyyah di dalam
bukunya. Tetapi,
penjelasan Ustad Idrus
tidak menunjukkan
benang merah antara
Mazhab Asy'ariyyah
dengan Ahlus Sunnah.
Ustad Idrus lebih
banyak memotret
profil Mazhab
Asy'ariyyah tanpa
menyentuh esensi dari
pemikiran Mazhab
Asy'ariyyah.
Minimnya penjelasan
tentang Mazhab
Asy'ariyyah di dalam
bahasa Indonesia,
berdampak kepada
gugupnya sebagian
santri ketika
menghadapi
gempuran pemikiran
para ulama Saudi.
Mereka yang dikirim
ke Saudi Arabia untuk
melanjutkan studi di
jenjang perguruan
tinggi, tidak
mempunyai bekal
yang cukup untuk
menghadapi
pertanyaan-
pertanyaan kritik dari
para akademisi Saudi.
Wajar jika kemudian
tidak sedikit para
santri yang pada
akhirnya mengaku
"kalah" dan
meninggalkan mazhab
Asy'ariyyah. Kemudian
pada akhirnya berbalik
menyerang mazhab
lamanya. Adapun
mereka yang
bertahan,
mengandalkan sikap
resistensinya dengan
pendekatan kepala
batu, tanpa
memperlihatkan
perlawanan yang
berarti.
Para akademisi Mesir
sejak era Prof.
Muhammad Abou
Zahrah telah
melakukan penelitian
yang mendalam
tentang Mazhab
Asy'ariyyah. Namun,
sayangnya tulisan
para akademisi Mesir
itu tidak populer di
Indonesia. Agaknya
kendala transformasi
bahasa menjadi
persoalan kenapa
karya-karya akademisi
Mesir tidak populer. Di
tengah kendala itu,
Prof Kamaluddin
Nurdin Al-Bugisy hadir
menawarkan oase
informasi yang selama
ini agak sulit untuk
diakses. Tulisannya
tentang peta
pemikiran ilmu kalam,
banyak membantu
terutama saya di
dalam memahami alur
pemikiran dan
mencari benang
merah pemikiran
Asy'ariyyah dengan
mazhab Ahlus Sunnah
wal Jamaah yang
didaku sebagai
mazhab ideal umat
Islam. Tulisan ini
adalah prolog untuk
memecahkan misteri
pertanyaan apakah
benar Mazhab
Asy'ariyyah itu bagian
dari Ahlus Sunnah wal
Jama'ah. Masih
dibutuhkan waktu
untuk mengkaji lebih
dalam alur pemikiran
itu. Semoga....
(Ust. Abdi Kurnia Djohan - Forummuslim.net)
satu bulan ini, saya
lebih tertarik untuk
membaca kitab atau
buku tentang Imam
Abu Hasan al-Asy'ari
dan Mazhab
Asy'ariyyah.
Ketertarikan saya
untuk membaca buku
tentang Mazhab
Asy'ariyyah itu
dilatarbelakangi oleh
adanya tuduhan sesat
dan bahkan kufur
terhadap mazhab
Asy'ariyyah, serta
penjelasan Hadlrotus
Syaikh Hasyim Asy'ari
bahwa sebelum tahun
1330 H, masyarakat
Islam Nusantara
menjadikan mazhab
Asy'ariyyah sebagai
pijakan di dalam
memahami aqidah
Islam.
Namun, dari kedua
alasan itu, tuduhan
sesat dan juga kufur
yang lebih banyak
memotivasi saya
untuk mempelajari
kitab dan buku ilmu
kalam, meskipun
sebelumnya pernah
saya tinggalkan.
Secara jujur diakui
bahwa kajian ilmu
kalam merupakan
kajian yang sulit dan
membosankan.
Dikatakan sulit, karena
bahasan ilmu kalam
cenderung mendekati
bahasan filsafat yang
membutuhkan
ketelitian, ketekunan
dan juga kesabaran.
Ilmu kalam dan ilmu
filsafat adalah
bersaudara, meskipun
tidak sama.
Perbedaannya terletak
kepada penempatan
dalil-dalil agama
sebagai pijakan
berpikir. Filsafat dapat
dikatakan lebih berani
dibandingkan ilmu
kalam. Keberanian itu
terletak kepada
pertanyaan-
pertanyaan kritis yang
diajukan terhadap
dalil, bahkan jika
memungkinkan
meragukan dalil itu
sendiri. Berbeda
dengan ilmu kalam.
Dalam perspektif
Asy'ariyyah, dalil tetap
dipandang sebagai
sumber karena tidak
mungkin rasio dapat
berdiri secara mandiri
tanpa ditemani oleh
dalil. Namun, yang
menjadi
pertanyaannya adalah
bagaimana kemudian
"teman" atau dalil itu
diposisikan. Di depan,
di samping atau di
belakang. Di sinilah
saya kira, jawaban dari
pertanyaan kenapa
ilmu kalam tidak
disukai--atau bahkan
diharamkan di Saudi
Arabia.
Seperti telah diketahui
bersama, bahwa
beberapa penulis
Indonesia telah
memulai sebuah
"gebrakan" baru
melakukan
dekonstruksi terhadap
pemikiran ilmu kalam.
Dekonstruksi
dilakukan dengan
menempatkan
mazhab Asy'ariyyah
sebagai mazhab yang
sesat, seperti dapat
dibaca di karya Yazid
Abdul Qadir Jawwas--
Mulia dengan Manhaj
Salaf--dan karya
Firanda Andirja--
Ajaran Imam Assyafi'i
yang Ditinggalkan.
Firanda Andirja
bahkan lebih keras
lagi di dalam
memberikan vonis. Di
dalam karyanya itu,
seolah mazhab
Asy'ariyyah "haram"
duduk berdampingan
dengan Mazhab Fikih
Imam Assyafi'i, sebuah
simpulan dan vonis
yang saya kira tergesa-
gesa. Tampaknya, apa
yang diutarakan
kedua penulis
tersebut, tidak
terlepas dari pengaruh
para ulama Saudi
Arabia yang memang
tidak berkenan
dengan keberadaan
Mazhab Asy'ariyyah.
Bahkan dapat
disimpulkan bahwa
ada upaya yang
sistematis, masif dan
bersifat global untuk
melenyapkan mazhab
Asy'ariyyah dari peta
pemikiran Islam. Dan
tidak tertutup
kemungkinan kedua
penulis itu, beserta
kawan-kawan
seperjuangannya
berada di dalam
rencana besar
tersebut.
Terkait dengan
tantangan yang
dihadapi itu, saya
mendapat kesulitan
untuk memperoleh
informasi yang
sistematis tentang
Mazhab Asy'ariyyah.
Kitab-kitab Asy'ariyyah
yang diajarkan di
pesantren-pesantren
pada umumnya
bersikap terapan
(applied). Kebanyakan
santri agak sulit
mendapatkan "cerita"
yang runtut tentang
Imam Asy'ari dan
Mazhab Asy'ariyyah.
Pemahaman tentang
mazhab Asy'ariyyah
yang diperoleh para
santri adalah
pemahaman yang
bersifat end-use atau
yang siap jadi. Para
santri hanya
memahami mazhab
Asy'ariyyah hanya dari
perkenalan tentang
sifat dua puluh yang
dihapal sejak level
Ibtidaiyah dan
kemudian dikaji di
level Aliyyah. Uraian
runtut tentang
Mazhab Asy'ariyyah
baru dipahami ketika
para santri
menginjakkan kaki di
bangku Fakultas
Ushuluddin, di kampus-
kampus dalam negeri,
itu pun tidak dalam.
Problematika itu
menjadi masalah
tersendiri bagi
kalangan santri
terutama ketika
menjawab pertanyaan
tentang apa itu
mazhab Asy'ariyyah.
Memang, Ustad Idrus
Ramli memberi
penjelasan tentang
apa itu Mazhab
Asy'ariyyah di dalam
bukunya. Tetapi,
penjelasan Ustad Idrus
tidak menunjukkan
benang merah antara
Mazhab Asy'ariyyah
dengan Ahlus Sunnah.
Ustad Idrus lebih
banyak memotret
profil Mazhab
Asy'ariyyah tanpa
menyentuh esensi dari
pemikiran Mazhab
Asy'ariyyah.
Minimnya penjelasan
tentang Mazhab
Asy'ariyyah di dalam
bahasa Indonesia,
berdampak kepada
gugupnya sebagian
santri ketika
menghadapi
gempuran pemikiran
para ulama Saudi.
Mereka yang dikirim
ke Saudi Arabia untuk
melanjutkan studi di
jenjang perguruan
tinggi, tidak
mempunyai bekal
yang cukup untuk
menghadapi
pertanyaan-
pertanyaan kritik dari
para akademisi Saudi.
Wajar jika kemudian
tidak sedikit para
santri yang pada
akhirnya mengaku
"kalah" dan
meninggalkan mazhab
Asy'ariyyah. Kemudian
pada akhirnya berbalik
menyerang mazhab
lamanya. Adapun
mereka yang
bertahan,
mengandalkan sikap
resistensinya dengan
pendekatan kepala
batu, tanpa
memperlihatkan
perlawanan yang
berarti.
Para akademisi Mesir
sejak era Prof.
Muhammad Abou
Zahrah telah
melakukan penelitian
yang mendalam
tentang Mazhab
Asy'ariyyah. Namun,
sayangnya tulisan
para akademisi Mesir
itu tidak populer di
Indonesia. Agaknya
kendala transformasi
bahasa menjadi
persoalan kenapa
karya-karya akademisi
Mesir tidak populer. Di
tengah kendala itu,
Prof Kamaluddin
Nurdin Al-Bugisy hadir
menawarkan oase
informasi yang selama
ini agak sulit untuk
diakses. Tulisannya
tentang peta
pemikiran ilmu kalam,
banyak membantu
terutama saya di
dalam memahami alur
pemikiran dan
mencari benang
merah pemikiran
Asy'ariyyah dengan
mazhab Ahlus Sunnah
wal Jamaah yang
didaku sebagai
mazhab ideal umat
Islam. Tulisan ini
adalah prolog untuk
memecahkan misteri
pertanyaan apakah
benar Mazhab
Asy'ariyyah itu bagian
dari Ahlus Sunnah wal
Jama'ah. Masih
dibutuhkan waktu
untuk mengkaji lebih
dalam alur pemikiran
itu. Semoga....
(Ust. Abdi Kurnia Djohan - Forummuslim.net)
Komentar
Posting Komentar