2004, Siang itu istriku duduk melamun di beranda, aku dekati dia dan bertanya mengapa ? Dia hanya menggelengkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tapi aku mengenal lahir batin istriku, aku tahu keresahannya, tahu gejolak keinginannya. Anak-anak sudah semakin besar, kebutuhan ekonomi
harian kian bertambah, dan dulu sebelum krisis moneter aku adalah seorang buruh pabrik dengan gaji pas-pasan namun masih cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun semenjak krisis moneter, pabrik tempatku bekerja bangkrut total, dan seluruh karyawan terkena PHK.
Istriku yang dulu satu pabrik dengan saya juga ikut terkena imbasnya, sama-sama menjadi pengangguran. Istriku memilih tinggal di kampung untuk membesarkan anak-anak bersama Bapak mertuaku yang saat itu sudah amat tua. Sesungguhnya hidup di kampung itu lebih tentram dan nikmat kalau kita tidak punya pikiran dan keinginan yang neko-nekn, karena kebetulan istriku mempunyai sepetak sawah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama musim tanam hingga menunggu panenan. Namun hidup tidak melulu makan dan minum tok! Hidup juga ingin punya status, entah apa status yang ingin aku gapai bersama istri dan anak-anakku, hampir setiap saat selalu bertambah untuk meningkatkan status tiap kali satu status terpenuhi dengan status yang lain. Tapi aku dan istriku selalu belajar nerimo ing pandum dan tidak terlalu memaksakan diri dalam meraih keinginan hidup.
Tapi gurat-gurat keresahan istriku semakin jelas ketika aku tiada lagi merantau ke Jakarta. Ketika itu aku bekerja serabutan di kampung, menjadi apa saja, yang penting dapat uang halal dan berkah. Aku tanyakan pada istriku, Kamu mau apa ? Mau dagang, jawab istriku.
(bersambung...)
Komentar
Posting Komentar