Iramawati Oemar |
(by : Iramawati Oemar)
Rasanya terlalu sering kita mendengar orang menyalahkan takdir, terutama kalau apa yang terjadi pada dirinya adalah sesuatu yang tidak/kurang baik. Yang merasa miskin menyalahkan takdir Tuhan, yang sering gagal dalam hidupnya pun menyalahkan takdir Tuhan. Seolah manusia adalah makhluk lemah yang tidak berdaya apa-apa. Padahal justru Allah, Tuhan semesta alam, yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diberi amanah menjadi “wakil Tuhan” di bumi, menjadi “khalifah”, pemimpin, minimal atas dirinya sendiri. Manusia dikaruniai rasa, cipta dan karsa (kehendak) untuk memilih jalan yang akan dia lalui.
Untuk urusan duniawinya, manusia dibebaskan untuk berikhtiar, mencari sendiri dan memutuskan sendiri pilihannya. Semisal seseorang sedang mencari pekerjaan, dia bebas menentukan pekerjaan macam apa yang akan dia ambil. Jika ada pilihan pekerjaan halal tapi penghasilan kecil dan pekerjaan yang haram tapi uang yang dihasilkan banyak, maka apapun yang dia pilih itu sama sekali BUKAN TAKDIR. Termasuk jika di kemudian hari pekerjaan itu membawanya ke balik jeruji besi untuk mempertanggungjawabkan pekerjaan haramnya, itu juga bukan takdir Tuhan, bukan pula hukuman Tuhan. Itu adalah “SUNNATULLAH”, sebuah keniscayaan alam bahwa setiap perbuatan akan berbalas.
Analogi simplenya begini : ada seorang karyawan, di tempat kerjanya dia bebas memilih teman. Lalu dia memilih teman yang menurutnya “pandai” cari "ceperan" di perusahaan sehingga penghasilannya per bulan lebih besar dari gajinya. Maka bertemanlah mereka karena kesamaan kepentingan. Mereka bersekutu untuk melakukan manipulasi dalam hal pengadaan barang, pembukuan keuangan, pajak, dll. Semua itu berjalan lancar tanpa ketahuan sampai bertahun-tahun, hingga semua yang terlibat jadi kaya raya sebagai buah dari persekongkolan itu. Apakah semua itu “TAKDIR” Allah? Tentu tidak! Bertemannya orang-orang yang punya prinsip sama, punya pandangan sama, punya kepentingan sama, itu sebenarnya sama sekali BUKAN TAKDIR ALLAH, melainkan murni karena pilihan dan preferensi dari setiap individu. Orang akan cenderung merasa nyaman berteman dengan yang sepemahaman dengannya, seprinsip, seide.
Begitupun dalam berpolitik praktis. Di dunia politik ada pemeo “tak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”. Maka, siapapun teman/sekutu yang dipilih dalam berpolitik adalah kehendak manusia, BUKAN TAKDIR TUHAN. Pun juga pilihan-pilihan atas berbagai kepentingan yang mengemuka, itu semua murni pertimbangan manusia. Jangankan para elite politik yang memilih bersekutu/berkoalisi, para pemilik hak suara yang memilih di bilik suara, itu semua juga bukan takdir. Makanya ada masa kampanye yang tujuannya mempengaruhi PILIHAN para calon pemilih. Masa kampanye BUKAN masa untuk MENGUBAH TAKDIR.
Untuk kepentingan yang menyangkut kemaslahatan dunia dan akhirat, ummat Islam diperintahkan sholat istikharah untuk meminta “PETUNJUK” Allah, manakah yang lebih baik atau lebih sedikit mudharatnya. Tapi sekali lagi, itu semua bukan takdir, itu adalah bagian dari ikhtiar. Apalagi jika sejak awal preferensi atau kecenderungan yang diinginkan adalah pilihan yang belum tentu membawa maslahat bagi ummat. Belum lagi kalau kepentingannya lebih berorientasi pada hawa nafsu duniawi, bukan demi kemaslahatan dunia dan akhirat. Tentu tidak pantas jika kemudian membawa-bawa “takdir Tuhan” sebagai kambing hitam.
Jadi, kalau ada politisi yang melempar sinyal kemana arah dia hendak bersekutu/berkoalisi sambil menyandarkan itu semua pada takdir Tuhan, sungguh sangat NAIF. Sebab kesepakatan bersekutu dalam politik praktis umumnya melalui serangkaian lobby-lobby dan negosiasi : “kamu dapat apa dan aku dapat apa”. Jadi semua itu adalah murni PILIHAN. Manusianya sendiri yang memutuskan. Apakah dalam menentukan pilihan dibimbing oleh hati nurani atau didorong oleh hawa nafsu, itu juga sebuah pilihan. Sama sekali bukan sesuatu yang sudah ditulis takdirnya di Lauhul Mahfudz oleh Allah!
Manusia bebas memilih kawan sejalan untuk meraih kepentingan bersama. Jika pun tujuan itu berhasil diraih, semua atas ijin Allah, tapi BUKAN TAKDIR dari Allah. Tujuan itu ada yang baik dan ada pula yang buruk. Terkadang Tuhan mengijinkan kejahatan merajalela, kedzholiman menang dan kebodohan (kejahilan) berkuasa. Karena memang begitulah ghalibnya dunia, seperti silih bergantinya siang dan malam, terkadang KEBENARAN pun harus KALAH dari KEBOHONGAN, yang menempuh jalan lurus terpaksa kalah dari yang memilih jalan batil, hanya karena kalah jumlah. Seperti halnya ramalan Jayabaya, akan tiba suatu masa nanti yang disebut JAMAN EDAN, disaat itu semua akan ikut ngedan (menggila), sebab “yen ora ngedan ora kedhuman" (kalau tak ikut menjadi gila maka tak akan kebagian). Namun itu belum titik, sebab dalam bait selanjutnya Jayabaya menyebutkan bahwa betapapun beruntungnya orang yang “lali” (lupa), masih lebih beruntung orang yang selalu “ingat” dan waspada.
Mungkinkah jaman edan yang diramalkan Jayabaya telah tiba? Entahlah...
Tapi jaman sekarang memang banyak yang “ngedan”, amargo wedhi ora kedhuman (karena takut tidak kebagian). Tidak kebagian manisnya kekuasaan, tidak kebagian legitnya jabatan, tidak kebagian nikmatnya uang berlimpah, dll. Jangan khawatir jika pun semua kelompok nanti berkawan/bersekutu untuk satu kepentingan melanggengkan kekuasaan, janganlah minder dan was-was. Janganlah takut jika nanti akan “dikeroyok”, sebab tidak ada rumus pasti bahwa yang mengeroyok rame-rame pasti menang.
Sekali lagi, jangan pernah “meng-kambinghitam-kan” TAKDIR ALLAH dalam urusan pilihan politik. Itu namanya kita mendzholimi Allah. Seolah jikalau pilihan kita keliru dan membawa mudharat, maka salahkan saja takdir Allah.
Subhanallah..., Maha Suci Allah dari semua itu.
Tuhan tidak sedang bermain politik praktis, tapi DIA telah memberimu tuntunan atas semua pilihan yang ada di dunia. Allah sudah memberi rambu-rambu. Manusia diberi mata kepala dan mata hati untuk melihat dan menyambungkan benang merah dari setiap kejadian. Berpikirlah..., sebab hanya bagi orang-orang yang berpikir-lah yang bisa melihat tanda-tanda dan mengambil “ibrah” dari yang telah terjadi. Jangan bilang “jika Allah mentakdirkan, saya akan dukung si anu” ya... Jangan, meski tujuanmu agar terlihat "Islami" atau agar tampak "religius" karena menyandarkan pada Allah. Sebab, itu hanya akan membuatmu terlihat kurang paham apa itu "takdir" dan apa itu kebebasan manusia yang diberikan Allah. Sekali lagi, pilihanmu itu bukan takdir Tuhanmu. (FM)
Komentar
Posting Komentar