(By : Iramawati Oemar)
Pernah dengar jalan raya Anyer - Panarukan? Dikenal juga dengan nama jalan Raya Pos, jalan sepanjang 1.000 km yang membentang dari ujung barat pulau Jawa hingga ujung timur Jawa itu setiap 4,5 km ada didirikan pos perhentian dan penghubung pengiriman surat.
Jalan itu dibangun atas perintah Herman Willem Daendels, Gubernur Jendral Hindia Belanda yang memerintah selama 3 tahun saja (1808 - 1811). Meski dibangun lebih 200 tahun lalu ketika teknologi konstruksi masih sangat sederhana, namun infrastruktur sepanjang 1000 km itu selesai dalam waktu hanya 1 tahun. Dengan tangan besinya Daendels memaksa semua "kepala daerah" di Jawa mengirimkan rakyatnya untuk ikut kerja rodi membangun jalan raya itu.
Sebelum Daendels tiba di Batavia, sudah ada jalan dari Anyer menuju Batavia. Tapi Daendels melaluinya selama 4 hari (jangan-jangan lagu Sheila Madjid yang populer tahun '90an, "Antara Anyer Dan Jakarta", kisah cinta 3 malam, terinspirasi dari sini), karena buruknya kondisi jalan saat hujan. Akhirnya Daendels memerintahkan pelebaran dan pengerasan jalan itu, sehingga jarak Batavia - Anyer bisa ditempuh sehari saja.
Daendels mengandalkan pekerja lokal alias warga tanah jajahan untuk menggarapnya. Meski jadwalnya singkat karena "kejar tayang", namun terbukti jalan itu masih bagus hingga berpuluh-puluh tahun bahkan sampai Indonesia merdeka hampir 1,5 abad kemudian.
Artinya : ketrampilan pekerja/buruh lokal saat itu sudah bagus. Hanya tinggal diarahkan saja. Kualitas infrastruktur peninggalan Belanda umumnya bertahan lama, bahkan hingga puluhan tahun setelah Belanda meninggalkan Indonesia. Pekerjanya buruh lokal, tapi materialnya tidak ada yang dikorup. Campuran bahan pembuatnya prima, sesuai takaran yang seharusnya.
Pernah dengar istilah "konstruksi cakar ayam" yang dipakai dalam engineering konstruksi bangunan tinggi di tanah lembek? Ya, pencipta teori itu adalah anak bangsa Indonesia, Prof. Dr. Ir. Sedijatmo yang kini namanya diabadikan sebagai nama jalan toll menuju bandara Soetta. Teknik konstruksi itu memungkinkan pembangunan struktur konstruksi di atas tanah rawa-rawa. Metode rekayasa teknik itu ditemukan tahun 1961 ketika beliau ditugasi mendirikan 7 tower listrik tegangan tinggi di daerah rawa-rawa Ancol untuk menyalurkan listrik dari pusat tenaga listrik di Tanjung Priok ke Gelora Senayan dalam rangka Indonesia jadi tuan rumah Asian Games tahun 1962. Dengan ditemukannya teknik rekayasa itu, pendirian 7 menara listrik dapat dipercepat dan kokoh. Bukan hanya untuk gedung bertingkat, teknologi ini juga cocok untuk membangun jalan dan landasan. Dan teknologi ini banyak diadopsi. Bangga dong, karya anak bangsa Indonesia.
Ada juga Ir. Soetami, sosok sangat bersahaja yang sepanjang hayatnya beliau hidup dalam kesederhanaan, meski menjabat sebagai Menteri terlama, sejak jaman Presiden Soekarno hingga Soeharto.
Ir. Soetami ini yang menghitung konstruksi bangunan Gedung DPR/MPR yang masih bertahan kokoh berdiri hingga sekarang. Beliau juga yang mempelopori penggunaan konstruksi beton pra-tekan dalam pembangunan jembatan Semanggi. Entah berapa juta kendaraan yang sudah melaluinya dengan bobot mati berjuta-juta ton. Beliau pula pimpinan pusat proyek pembangunan jembatan Ampera yang melintas di atas sungai Musi, kebanggaan masyarakat Palembang. Waduk Jatiluhur dan bandara Ngurah Rai Denpasar juga proyek yang dipimpin beliau. Semua proyek raksasa itu fisiknya masih kokoh hingga berpuluh-puluh tahun setelah Ir. Soetami wafat pada 13 November 1980, dan setahun kemudian, pada 16 Desember 1981 Presiden Soeharto mengabadikan namanya di bendungan Karangkates, sebagai wujud penghormatan atas jasanya di bidang konstruksi.
Monumen Nasional yang menjulang tinggi dan masjid Istiqlal yang luar biasa megah dan terbesar pada jamannya, juga diarsiteki dan dibangun oleh anak bangsa sendiri. Sampai sekarang masih kokoh berdiri.
Semua proyek itu adalah mega proyek pada jamannya. Jika dikonversi ke nilai tukar USD sekarang, tentu nilainya juga milyaran US dolar. Bedanya, proyek-proyek jaman dulu dikerjakan dengan hati-hati, meski dikejar target namun tetap dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab, tanpa mengurangi material, dengan keterbatasan teknologi yang tersedia saat itu, justru melahirkan inovasi hebat dalam rekayasa teknik.
Masihkah ada yang meragukan kemampuan bangsa sendiri setelah lebih 70 tahun kita merdeka?!
Sejak jaman Orde Lama dan Orde Baru, Presiden Soekarno dan Soeharto menpercayakan konstruksi proyek-proyek raksasa dan prestisius kepada anak bangsa sendiri. Tak ada keraguan atas kemampuan. Dan hingga kini, bukti nyata kehebatan konstruksi buah karya mereka masih kokoh berdiri. Tidak ambruk, roboh, melorot, atau apapun, seperti proyek-proyek konstruksi belakangan ini.
Jika di tahun '60an sampai '70an saja pemimpin negeri ini mempercayakan proyek-proyek raksasa kepada bangsa sendiri, lalu mengapa di abad XXI ini kita justru meragukan bahkan meremehkan kemampuan tenaga kerja lokal?!
Padahal semua proyek prestisius di jaman Soekarno dan Soeharto itu sejak dari arsitektur, penghitungan konstruksi, hingga pelaksanaan proyek dan pengawasannya, semua melibatkan anak bangsa sendiri. Bukankah Soekarno juga seorang insinyur? Tentu beliau tahu betul seberapa layak seorang insinyur dipercaya menangani proyek raksasa.
Membanjirnya tenaga kerja asing (aseng) yang marak diberitakan media massa 2-3 tahun belakangan ini bukan hanya untuk tenaga ahli, namun juga tenaga kerja kasar atau level buruh. Inilah yang meresahkan masyarakat, sebab di tanah air tercinta ini, tenaga kerja lokal melimpah dan masih menunggu terbukanya lapangan kerja. Kalau saja setiap proyek memberdayakan tenaga kerja lokal, sedikit banyak pengangguran akan berkurang.
Ingat, Daendels saja mengandalkan pekerja lokal untuk menyelesaikan proyek prestisiusnya di awal abad ke-19. Masa iya sekarang, 2 abad kemudian, kita malah meragukannya?!
Tenaga kerja asing tentu sah saja, sepanjang masih dalam batas sebagai expert, karena keahlian teknisnya memang belum dimiliki tenaga kerja lokal. Itupun ada aturan yang mengharuskan tenaga kerja ahli dari asing harus didampingi oleh beberapa orang tenaga lokal yang di"kader" atau diproyeksikan untuk learning by doing, menyerap informasi dan teknologi dari sang ahli. Intinya : HARUS TERJADI PROSES TRANSFER OF KNOWLEDGE! Tidak boleh penggunaan tenaga kerja asing ahli itu berkelanjutan selamanya karena dibiarkan tidak ada proses alih ilmu pengetahuan.
Sangat ironis jika seorang pejabat justru menyatakan tenaga kerja lokal keahliannya belum cukup mendukung proyek miliaran dolar.
Sedangkan Prof. Sedijatmo, Ir. Soetami, dkk sudah membuktikan keahlian mereka sejak lebih 50 tahun yang lalu. Bahkan jika dibandingkan dengan kualitas proyek konstruksi jaman now yang rentan ambruk dan melorot, hasil karya spektakuler para pakar era Orla dan Orba justru terbukti tangguh hingga sekarang.
SDM lokal tidak siap bersaing dengan tenaga kerja asing?! Ah..., yang benar saja. Pernyataan ini harus didukung bukti dan data empiris, hasil penelitian yang jumlah sampelnya dapat diterima secara statistik.
Bagi orang Indonesia yang berkesempatan belajar di manca negara, di negara maju, entah dengan beasiswa atau biaya sendiri, tentu bisa banyak bercerita bahwa kemampuan mahasiswa Indonesia di tanah rantau tak kalah dengan warga setempat. Bahkan di universitas-universitas asing ternama sekalipun. Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie hanyalah salah satu contoh saja. Banyak cendekiawan asal Indonesia yang juga berprestasi setara dengan bangsa asing. Jadi, siapa bilang bangsa kita tak siap bersaing soal kerja?!
Pemerintahan kali ini mengusung slogan "kerja, kerja, kerja". Jadi sangat ironis jika "kerja" itu diserahkan kepada tenaga asing/aseng.
Di kabinet ini pula, untuk pertama kali ada Menko PMK, Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan. Sudah semestinya jika kemenkoan ini bertanggungjawab penuh atas peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk peningkatan daya saing manusianya.
Jika pun benar sebagian bangsa ini masih belum bisa bersaing dengan pekerja asing/aseng, maka KEWAJIBAN kementrian inilah untuk memberdayakan mereka, memberi kesempatan untuk bekerja. Kalau tak diberi kesempatan untuk terus mengasah keahliannya, bagaimana bisa bersaing?!
Kalau pun toh benar sebagian anak bangsa ini mentalnya belum siap bersaing dengan bangsa asing/aseng, maka seharusnya program REVOLUSI MENTAL itu diarahkan untuk mendongkrak mental anak bangsa jadi bangsa yang percaya diri, tidak minder, tidak inferior. Bukan hanya membuat situs/website semata atau memesan kaos dan topi. Harus ada pembuktian nyata peningkatan kualitas dan daya saing manusia Indonesia.
Pernyataan pejabat negara semestinya memotivasi, bukan melemahkan daya saing. Jangan sampai nanti ada pernyataan bahwa bangsa kita belum mampu bikin cangkul, hanya karena ingin membenarkan impor cangkul dari luar negeri. Padahal, berabad-abad lampau bangsa kita yang dikenal masyarakat agraris ini sudah punya para pandai besi handal dan bisa memproduksi cangkul, dll.
Berabad-abad lampau, nenek moyang bangsa kita sudah bisa membangun candi Borobudur, Prambanan, dll.
Kenapa di abad XXI baru diragukan kemampuan dan keahlian anak bangsa di bidang konstruksi?!
Oh...come on! Please, jangan merendahkan diri dan melecehkan kemampuan bangsa sendiri. Bagaimana asing akan menghormati kita jika diri sendiri justru menghinakan diri?
Jika bukan bangsa Indonesia yang menghargai dirinya, jangan berharap bangsa lain akan menghargai kita.
🎼🎵
Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya.
Indonesia sejak dulu kala slalu dipuja puja bangsa.
🎵🎶
Tulisan ini dibuat sebagai bentuk rasa cinta tanah air dan bangga jadi anak/orang Indonesia. Sekaligus prihatin jika kemampuan para pakar asli Indonesia yang sudah dibuktikan sejak Indonesia baru merdeka, kini dinafikan begitu saja. Mari kita motivasi anak bangsa bahwa kita bisa bersaing dengan bangsa asing dan aseng. Banyak tokoh negeri ini sudah membuktikannya. (FM)
Komentar
Posting Komentar