Forum Muslim - Pada bulan Mei pemerintah India secara mengejutkan mengumumkan penolakannya mengikuti konperensi OBOR (One Belt One Road), forum kerjasama ekonomi Asia Selatan dan Asia Tenggara yang digagas Cina dengan mengandalkan pembangunan infrastruktur oleh Cina. Tidak lama kemudian, tidak kalah mengejutkan India mengumumkan rencana kerjasama Jepang-India berjuluk Asia-Africa Growth Corridor (AAGC), yang oleh para pengamat disebut-sebut sebagai saingan OBOR-Cina.
Dalam dokumennya AAGC merupakan bagian dari rencana proyek Indo-Pacific Freedom Corridor dengan menggunakan kekuatan uang Jepang dan pengaruh India di Afrika.
Padahal, baru setahun yang lalu India, bersama Pakistan yang tidak lain adalah tetangga yang paling dibencinya karena terlibat konflik perebutan wilayah Kashmir, diterima sebagai anggota Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang didirikan Cina dan Rusia. Bergabungnya kedua negara yang bermusuhan di sebuah forum kerjasama ekonomi memunculkan harapan besar bahwa ketegangan antara kedua negara yang berpengaruh besar pada keamanan kawasan Asia Tengah dan Selatan, akan berakhir damai.
India juga anggota organisasi BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan) yang telah membentuk bank bersama bernama New Development Bank yang berpusat di Shanghai dan dipimpin oleh bankir India. Tidak hanya itu, India juga anggota Asian Infrastructure Investment Bank. Dan sampai penolakan India mengikuti konperensi OBOR di Beijing tanggal 14 Mei lalu, India masih tercatat sebagai anggota forum kerjasama prestisius itu.
Beberapa waktu kemudian di bulan Juni tanggal 27, PM India Narendra Modi bertemu Presiden Amerika Donald Trump di Washington dengan hasil pentingnya berupa penetapan pemimpin kelompok Hizb-ul-Mujahideen Mohammad Yusuf Shah sebagai 'Specially Designated Global Terrorist (SDGT). Sebagai konsekuensinya, Amerika pun menjatuhkan sanksi kepada Pakistan.
Ketegangan India-Pakistan pun muncul kembali setelah Donald Trump setuju untuk menjual peralatan militer senilai $3 miliar ke Pakistan, di antaranya berupa drone canggih Guardian.
Selanjutnya, pada 7 Juli Modi bertemu PM Israel Benjamin Netanyahu di Israel. Ini adalah pertemuan pertama kepala negara India dengan perdana menteri Israel sehingga media-media India menyebut hal itu sebagai 'perubahan besar' politik luar negeri India.
Dan setelah pertemuan-pertemuan itu, India memprovokasi Cina dengan mengirim pasukan ke wilayah Doklam di Tibet, yang masih menjadi sengketa antara kedua negara.
Tidak heran jika para pengamat mengkritisi sikap India ini dan mengkhawatirkannya.
"The question posed is who or what grand design is behind India’s foreign and domestic policies under Prime Minister Narendra Modi. Has Modi switched sides? If so to whom?" tulis William Engdahl di situs Voltairenet.org, 28 Agustus lalu. Engdahl dengan lugas menuduh India tengah menjalankan kepentingan zionis Amerika-Israel.
Dan kemudian, pada saat hampir bersamaan dengan akrobat India itu aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok etnis Rohingya kembali marak di Myanmar. Negeri ini adalah sekutu tradisional Cina dan Cina pun sangat berkepentingan untuk mewujudkan ambisinya melanjutkan proyek OBOR di Myanmar yang kaya sumber daya alam. Bukan tanpa dasar sama sekali jika sebagian pengamat menganggap zionis Amerika-Israel berada di balik konflik di Myanmar ini demi menghancurkan proyek Cina di Myanmar. Dan mengingat bahwa Inggris secara tradisi juga berpengaruh besar di Myanmar sebagai negara bekas jajahan, maka koalisi Inggris, Amerika dan Israel ini bisa disebut sebagai koalisi Zio-Anglo.
Publik Indonesia pada umumnya lebih mencurigai 'faktor Cina' sebagai pendorong utama konflik sektarian di Myanmar. Alasannya sederhana: pemicu utama konflik adalah kelompok ekstremis Budha yang dipimpin oleh Bikshu Wirathu, dan sebagian besar warga keturunan Cina adalah penganut Budha. Faktor lainnya tentu saja adalah hubungan pemerintahan Myanmar yang merupakan sekutu dekat Cina.
Publik umumnya tidak mengetahui bahwa Bikshu Wirathu dan juga pemimpin 'de facto' Myanmar Aung San Suu Kyi adalah agen kepentingan Zio-Anglo. Mereka telah lama dibina untuk menjadi kekuatan penyeimbang regim militer yang pro-Cina.
"Pemerintah Amerika dan Inggris telah menghabiskan puluhan tahun dan juta dollar membentuk kelompok oposisi yang telah berhasil menempatkan Aung San Suu Kyi sebagai Kanselir Negara yang pertama. Dukungan itu termasuk mendukung kelompok 'saffron-clad street fronts' yang membentuk jaringan nasional bikshu dan berbagai LSM," demikian tulis Joseph Thomas di artikel berjudul 'Is the US Positioning Itself for Military Presence in Myanmar?' di situs New Eastern Outlook baru-baru ini.
Dan kelompok-kelompok inilah yang kini terlibat dalam aksi pembantaian terhadadap warga minotitas Rohingya, demikian tambah Thomas dalam tulisannya.
Pengamat internasional Hendrajit dari Global Future Institute dalam sebuah status di Facebook menyebut bahwa Michael Aris, suami dari pemimpin 'de facto' Myanmar Aung San Suu Kyi, adalah seorang agen rahasia dinas inteligen Inggris.
Tanpa pernyataan pengamat tersebut, sebagai seorang diplomat Inggris Aris otomatis adalah agen dinas inteligen Inggris.
Lalu, kalau ada seorang wanita menikah dengan seorang agen dinas inteligen Inggris dan kemudian mendapat dukungan moril, finansial dan publikasi besar-besaran dari para pejabat dan pers Inggris dan Amerika, apakah kita akan meragukan bahwa ia juga agen kepentingan Inggris dan Amerika? Tentu saja tidak.
Lihat saja bagaimana 'mesra'nya Suu Kyi menyambut Presiden Amerika Barack Obama saat ia berkunjung ke Myanmar. Sama seperti kemesraan dalam pertemuan Obama dengan mantan PM Thailand Yingluck Shinawatra atau dalam pertemuan antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan para pejabat IMF dan Bank Dunia, hal itu tidak mungkin terjadi bila keduanya tidak memiliki hubungan emosional yang tinggi yang tidak akan mungkin terjadi bila tidak adanya 'ikatan emosional' yang didasarkan oleh kepentingan tertentu.
Amerika dan Inggris, negara yang memiliki kedekatan kultur dan politik dengan Myanmar yang merupakan bekas negara jajahan, adalah bagaikan saudara kandung. Efektif sejak kemerdekaan Amerika tahun 1774, keduanya tidak terpisah dalam berbagai konflik global. Dalam Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Dingin, Perang Teluk, Perang Irak, dan hingga Perang Afghanistan yang saat ini masih berlangsung, Amerika dan Inggris berdiri bahu-membahu.
New Eastern Outlook menyebutkan bahwa yang terjadi di Myanmar saat ini merupakan proyek baru Amerika yang disebut “pivoting to Asia”, dengan tujuan memperkuat cengkraman atas Myanmar dengan beberapa tujuan sekaligus: membuka investasi untuk Amerika dan sekaligus mengeksploitasi sumber alam Myanmar yang melimpah dan selama ini terpendam karena ketertutupan negara itu, menghentikan dominasi Cina yang memiliki kedekatan hubungan dengan militer Myanmar dan sekaligus menyelamatkan Aung San Suu Kyi dan kebangkrutan politik.
Dalam strategi ini, seperti biasa digunakan isyu ekstremisme Islam sebagai pemicu ketegangan, dengan dukungan media-media massa dan LSM dan lembaga-lembaga kajian seperti The International Crisis Group (ICG) yang berbasis di Brussels.
"Dalam kenyataannya, lembaga-lembaga kajian itu memproduksi berbagai narasi yang kemudian diangkut oleh media-media massa Amerika dan Eropa, untuk mengubah persepsi publik untuk mendukung aspirasi geopolitik Barat," tulis New Eastern Outlook.
Dan dalam kasus Myanmar, narasi yang dibangun oleh ICG dan media-media Barat adalah munculnya apa yang disebut “Rohingya insurgency.” The Wall Street Journal misalnya, menulis artikel berjudul “Asia’s New Insurgency Burma’s abuse of the Rohingya Muslims creates violent backlash.”
"Kini langkah immoral ini telah menciptakan aksi-aksi kekerasan balasan. Kelompok perlawanan Muslim terbaru ini menempatkan para militan dukungan Saudi ini bertempur melawan aparat keamanan Burma. Dan ketika pasukan pemerintah membalas dendam kepada warga sipil, mereka menciptakan alasan bagi lebih banyak warga Rohingya untuk berperang," tulis Wall Street Journal.
Tidak ketinggalan artikel tersebut juga menyebut kelompok Harakah al-Yaqin yang disebutnya sebagai 'jawaban Saudi' atas permintaan komite Rohingya yang bermigrasi ke Mekkah dan seorang kader lokal Rohingya yang berpengalaman dalam perang gerilya di luar negeri.
Menurut laporan itu, aksi-aksi kekerasan terbaru di Myanmar dipicu oleh serangan bom yang dilakukan oleh kelompok militan dukungan Saudi, Pakistan dan Emirat Arab yang menewaskan beberapa petugas keamanan Myanmar. (Sumber : Indonesian Free Press)
Komentar
Posting Komentar