Ilustrasi Thoriqoh Tijaniyah- File attijanisampang.blogspot.co.id |
Forummuslim.org - Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Abul
Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah
seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah
karena penolakannya terhadap sisi eksatik
dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat
ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu
dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.
At-Tijani
dilahirkan pada tahun 1150/1737 di 'Ain Madi, bagian selatan Aljazair.
Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat
mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih
muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada
usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk
beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada
tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan
selama lima tahun.
Pada tahun 1186 (1772 - 1773), dia menuju
Hijaz untuk menunaikan ibadah haji, dan meneruskan belajar di Makkah dan
Madinah. Di dua kota Haramain ini, dia lebih banyak memfokuskan diri
untuk berguru kepada banyak tokoh tarekat sufi dan mengamalkan
ajarannya. Di antara tarekat yang dipelajarinya, misalnya Tarekat
Qadiriyah, Thaibiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Di Madinah dia
belajar langsung kepada seorang tokoh sufi, Syekh Muhammad bin Abdul
Karim as-Samman, pendiri tarekat Sammaniyah, yang mengajarinya ilmu-ilmu
rahasia batin. Kemudian dari Makkah dan Madinah, dia menuju Kairo dan
menetap untuk beberapa lama di sana. Pada tahun 1196 (1781 - 1782), atas
saran dari seorang syekh sufi yang baru dikenalinya, dia kembali ke
Tilimsan untuk mendirikan tarekat sendiri yang independen. Di sana
at-Tijani mengadakan khalwat khusus, yakni memutuskan kontak dengan
masyarakat sampai mendapatkan ilham (fath/kasyf).
Dalam fath yang
diterimanya, dia mengaku bahwa hal itu terjadi dalam keadaan terjaga.
Ketika itu, Nabi SAW mendatanginya dan memberitahukan bahwa dirinya
tidaklah berhutang budi pada syekh tarekat mana pun.
Karena
menurut dia, Nabi sendiri-lah yang selama ini menjadi pembimbingnya
dalam bertarekat. Selanjutnya, Nabi SAW menyuruh dia untuk meninggalkan
segala sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya berkenaan dengan
tarekat. Bahkan dia juga diberi izin untuk mendirikan tarekat sendiri
disertai wirid yang mesti diajarkan kepada masyarakat, yaitu istighfar
dan shalawat yang diucapkan masing-masing sebanyak 100 kali.
Setelah
kejadian itu, ia kembali ber'uzlah di padang pasir dan berdiam di oase
Bu Samghun. At-Tijani tampaknya menghadapi tekanan dari kaum otorita
Turki. Di tempat inilah ia menerima ilham yang terakhir (1200/1786).
Dalam
fath ini Nabi SAW memberikan tambahan wirid, yaitu tahlil yang harus
diucapkan sebanyak 100 kali. Nabi SAW juga mengatakan bahwa at-Tijani
adalah penunggu yang akan menyelamatkan hamba Allah yang durhaka. Pada
tahun 1213/1798, dia meninggalkan 'uzlahnya dari padang pasir dan pindah
ke Maroko untuk memulai menjalankan misi yang lebih luas lagi, dari
kota Fes. Di kota ini dia diterima baik oleh penguasa Maulay Sulaiman
dan tetap tinggal di sana sampai wafatnya pada 22 September 1815, dalam
usia 80 tahun.
Meskipun dia banyak bertarekat dan menjadi
muqaddam khalwatiyah (at-Tijani mempunyai silsilah Khalwatiyah), tetapi
pada perkembangan selanjutnya, yakni setelah menjalani hidup sufistik
secara ketat dan keras, dia kemudian mendirikan tarekat yang independen,
yang diyakini atas izin Nabi SAW.
Tarekat yang didirikan
at-Tijani ini agak unik dan sedikit banyak berbeda dengan
tarekat-tarekat lain terutama soal silsilahnya. Misalnya dari Syekh
Ahmad, sang pendiri, langsung kepada Nabi SAW, melintas jarak waktu 12
abad. Begitu juga anggota tarekat ini bukan hanya tidak dibenarkan untuk
memberikan bait 'ahd kepada syekh mana pun, tetapi juga melakukan
dzikir untuk wali lain dan dirinya serta wali-wali dari tarekatnya.
Menurut at-Tijani, Tuhan tidak menciptakan dua hati dalam hati manusia,
dan oleh karenanya tak seorang pun dapat melayani dua orang mursyid
sekaligus.
Lagi pula, bagaimana mungkin seorang salik akan bisa
sempurna menempuh suatu jalan, sedangkan pada waktu bersamaan ia juga
sedang menampuh (mengambil) jalan lain?
Sejak tinggal di kota Fes
ini, at-Tijani lebih berkonsentrasi pada pengembangan tarekatnya
sendiri. Sebagai seorang syekh tarekat yang berpengaruh dia berkali-kali
diajak oleh penguasa negeri itu untuk bergabung dalam urusan politik.
Namun, dia tetap menolak. Sikapnya inilah yang membuat dia semakin
disegani, dicintai, dan dihormati, baik oleh penguasa setempat maupun
oleh masyarakat sekitarnya. Lebih dari itu, pihak penguasa Maulay
Sulaiman, meski permintaannya ditolak, tetap memberikan berbagai hak
istimewa kepadanya.
Semula tarekat yang dipimpin at-Tijani ini
mendapatkan pengikut di Maghribi karena kecamannya terhadap ziarah ke
makam para wali dan mawsin yang populer pada waktu itu. Namun karena
perekrutan untuk menjadi muqaddam yang ditetapkan oleh at-Tijani agak
longgar, misalnya dengan menunjuk sebagai muqaddam-muqaddam siapa pun
yang melakukan bai'at, tanpa mengharuskan latihan selain dalam hukum dan
aturan-aturan ritual, dengan tekanan utama pada ditinggalkannya semua
ikatan dengan syekh-syekh lama kecuali dirinya. Sehingga setelah
at-Tijani wafat, agen-agen tadi telah tersebar luas dan dengan sebuah
sistem yang mendukungnya membuat dia mempunyai kekuatan penuh. Tarekat
ini dengan segera menyebar luas dari Maghribi hingga Afika Barat, Mesir
dan Sudan.
Aktivistas gerakan Tarekat Tijaniyah terbukti sangat
positif dan militan. Seperti halnya para pengikut tarekat Qadariyah dan
Syadziliyah, para murid tarekat ini berjasa menyebarluaskan Islam ke
berbagai kawasan Afrika.
Menurut Coppolani, mereka menyiarkan
Islam di kalangan pemeluk animisme dengan persaudaraan-persaudaraan sufi
lainnya dan berada di garis terdepan dalam melakukan perlawanan
terhadap ekspansi kolonialisme. Dari at-Tijani lalu diwakili oleh tokoh
lainnya seperti al-Hajj Umar di Sudan Barat. Di Republik Turki, sebuah
kelompok kecil penganut Tarekat Tijaniyah, adalah orang-orang muslim
pertama yang secara terbuka menetang rezim sekulerisme sekitar tahun
1950.
Tarekat ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun
1920-an, setelah disebarkan di Jawa Barat oleh seorang ulama pengembara
kelahiran Makkah, Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari, yang telah
menerima ijazah untuk mengajarkan tarekat ini dari dua orang syekh yang
berbeda. Dan, pada tahun-tahun berikutnya, beberapa orang Indonesia yang
belajar di Makkah menerima bai'at untuk menjadi pengikut Tarekat
Tijaniyah dan mendapat ijazah untuk mengajar dari para guru yang masih
aktif di sana.
Ini terjadi setelah serbuan Wahabi kedua terhadap
Makkah pada tahun 1824, dan kebanyakan tarekat lain tidak dapat lagi
menyebarkan ajaran pengkultusan terhadap para wali, tampaknya masih
dapat ditolelir.
Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh
tarekat-tarekat lain. Gugatan keras dari kalangan ulama tarekat itu
dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Tarekat Tijaniyah beserta
keturunannya sampai tujuh generasi akan memperlakukan secara khusus pada
hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat
Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih
dari itu, para pengikut Tarekat Tijaniyah diminta untuk melepaskan
afiliasinya dengan para guru tarekat lain, yang dalam pandangan syekh
pesaingnya dianggap sebagai praktik bisnis yang culas. Meski demikian,
tarekat ini terus berkembang, utamanya di Cirebon dan Garut (Jawa
Barat), Madura dan ujung Timur pulau Jawa sebagai pusat peredarannya.
Penentangan ini baru mereda ketika Jam'iyyah Ahlith-Thariqah
An-Nahdliyyah menetapkan keputusan setelah memeriksa wirid dan wadzifah
tarekat ini. Dan tanpa memberikan pernyataan-pernyataan ekstremnya
tarekat ini bukanlah tarekat sesat, karena amalan-amalannya sesuai
ajaran Islam.
Sepanjang tahun 80-an tarekat ini ngalami
perkembangan yang sangat pesat, terutama di Jawa Timur. Respons terhadap
perkembangan yang dicapai tarekat ini menyebabkan pecahnya kembali
konflik dengan para guru dari tarekat lain. Akar konflik ini lebih
tertuju kepada persaingan keras untuk mendapatkan murid dan perasaan
sakit hati di kalangan sebagian guru yang kehilangan banyak murid
berpindah ke Tarekat Tijaniyah.
Kepindahan murid-murid dari
tarekat lain ke Tarekat Tijaniyah ini berarti hilang pula murid-murid
dari tarekat lain. Karena Tarekat Tijaniyah sama sekali tidak
membolehkan para pengikutinya untuk berafiliasi lagi kepada syekh
tarekat yang dianut sebelumnya.*** Salahuddin
Ajaran dan Dzikir Tarekat Tijaniyah
Sejauh
ini at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan
dalam tarekatnya. Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam
bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma'ani wa
Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman
Talaqqa Ma'a at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad
at-Tijani. Dua kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid
at-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam
persyaratan masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah pada abad ke-19.
Meskipun
at-Tijani menentang keras pemujaan terhadap wali pada upacara
peringatan haii tertentu dan bersimpati kepada gerakan reformis kaum
Wahabi, tetapi dia sendiri tidak menafikan perlunya wali (perantara)
tersebut. At-Tijani sangat menekankan perlunya perantara (wali) antara
Tuhan dan manusia, yang berperan sebagai wali zaman. Oleh karena itu,
buku panduan Tijani kalimatnya dimulai dengan, "Segala puji bagi Allah
yang telah memberikan sarana kepada segala sesuatu dan menjadikan sang
Syekh perantara sarana untuk manunggal dengan Allah". Dalam hal ini,
perantara itu tak lain adalah dia sendiri dan penerusnya. Dan
sebagaimana tarekat-tarekat lain, tarekat ini juga menganjurkan agar
anggota-anggotanya mengamalkan ajaran dengan menggambarkan wajah syekh
tersebut dalam ingatan mereka, dan mengikuti seluruh nasehat syekh
dengan tenang.
Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat
sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari
Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100
kali. Boleh dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan
Ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istghfar (astaghfirullah al-adzim
alladzi laa ilaha illa hua al hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali,
Shalawat Fatih (Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad al-fatih lima
ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir al-haqq bi al-haqq wa al-hadi
ila shirat al-mustaqim wa'ala alihi haqqaqadruhu wa miqdaruh al-adzim)
sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak 100 kali, dan
ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.
Pembacaan
wadhifah ini juga paling sedikit dua kali sehari semalam, yaitu pada
sore dan malam hari, tetapi lebih afdlal dilakukan pada malam hari.
Selain itu, setiap hari Jum'at membaca Hayhalah, yang terdiri dari
dzikir tahlil dan Allah, Allah, setelah shalat Ashar sampai matahari
terbenam. Dalam hal dzikir ini at-Tijani menekankan dzikir cepat secara
berjamaah. Beberapa syarat yang ditekankan tarekat ini untuk prosesi
pembacaan wirid dan wadhifah: berwudlu, bersih badan, pakaian dan
tempat, menutup aurat, tidak boleh berbicara, berniat yang tegas, serta
menghadap kiblat.
Satu hal yang penting dicatat dari dzikir
Tarekat Tijaniyah -- yang membedakannya dengan tarekat-tarekat lain --
adalah bahwa tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat
Idrisiyyah, lebih menitikberatkan pada kesatuan dengan ruh Nabi SAW,
bukan kemanunggalan dengan Tuhan, hal mana merupakan perubahan yang
mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh karena itu, anggota tarekat
ini juga menyebut tarekat mereka dengan sebutan At-Thariqah
Al-Muhammadiyyah atau At-Thariqah al-Ahmadiyyah, termanya merujuk
langsung kepada nama Nabi SAW. Akibatnya, jelas tarekat ini telah
memunculkan implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak
terhadap asketisme dan lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas
praktis. Hal ini tampak sekali dalam praktik mereka yang tidak terlalu
menekankan pada bimbingan yang ketat, dan penolakan atas ajaran
esoterik, terutama ekstatikdan metafisis sufi.
Berikut petikan
dari kitab As-sirr al-Abhar Ahmad at-Tijani yang menyangkut berbagai
tata tertib, aturan dan dzikir dalam tarekat ini:
"Anda haruslah
seorang muslim dewasa untuk melaksanakan awrad, sebab hal (awrad) itu
adalah karya Tuhannya manusia. Anda harus meminta izin kepada orang tua
sebelum mengambil thariqah, sebab ini adalah salah satu sarana untuk
wushul kepada Allah. Anda harus mencari seseorang yang telah memiliki
izin murni untuk mentasbihkan Anda ke dalam awrad, supaya Anda dapat
behubungan baik dengan Allah.
Anda sebaiknya terhindar sepenuhnya
dari awrad lain manapun selain awrad dari Syekh Anda, sebab Tuhan tidak
menciptakan dua hati di dalam diri Anda. Jangan mengunjungi wali
manapun, yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, sebab tidak
seorang pun dapat melayani dua mursyid sekaligus. Anda harus disiplin
dan menjalankan shalat lima waktu dalam jamaah dan disiplin dalam
menjalankan ketentuan-ketentuan syari'at, sebab semua itu telah
ditetapkan oleh makhluk terbaik (Nabi SAW). Anda harus mencintai Syekh
dan khalifahnya selama hidup Anda, sebab bagi makhluk biasa cinta
semacam itu adalah sarana untuk kemanunggalan: dan jangan berfikir bahwa
Anda mampu menjaga diri Anda sendiri dari Kreativitas Tuhan Semesta,
sebab ini adalah salah satu ciri dari kegagalan.
Anda dilarang
untuk memfitnah, atau menimbulkan permusuhan terhadap Syekh Anda, sebab
hal itu akan membawa kerusakan pada diri Anda. Anda dilarang berhenti
untuk melantunkan awrad selama hidup Anda, sebab awrad itu mengandung
misteri-misteri Sang Pencipta. Anda harus yakin bahwa Syekh mengatakan
kepada Anda tentang kebijakan-kebijakan, sebab itu semua termasuk
ucapan-ucapan Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir.
Anda dilarang
mengkritik segala sesuatu yang tampak aneh dalam thariqah ini, atau
Penguasa Yang Adil akan mencabut Anda dari kebijak-kebijakan.
Jangan
melantunkan wirid Syekh kecuali sesudah mendapat izin dan menjalani
pentasbihan (talqin) yang selayaknya, sebab itu keluar dalam bentuk
ujaran yang lugu. Berkumpullah bersama untuk wadhifah dan dzikir Jum'at
dengan persaudaraan, sebab itu adalah penjagaan terhadap muslihat
syetan. Anda dilarang membaca Jauharat al-Kamal kecuali dalam keadaan
suci dari hadats, sebab Nabi SAW akan hadir dalam pembacaan ketujuh.
Jangan
menginterupsi (pelantunan yang dilakukan oleh) siapa pun, khususnya
oleh sesama sufi, sebab interupsi semacam itu adalah cara-cara syetan.
Jangan kendur dalam wirid Anda, dan jangan pula menundanya dengan dalih
apa pun atau yang lain, sebab hukuman akan jatuh kepada orang yang
mengambil wirid lantas meninggalkan sama sekali atau melupakannya, dan
dia akan menjadi hancur. Jangan pergi dan mengalihkan awrad tanpa izin
yang layak untuk malakukan itu, sebab orang yang melakukan hal itu dan
tidak bertaubat niscaya akan sampai kepada kejahatan dan kesengsaraan
akan menimpanya. Anda dilarang memberitahukan wirid kepada orang lain
kecuali saudara Anda dalam thariqah, sebab itu adalah salah satu pokok
etika sains spiritual".
Setiap tarekat memiliki satu atau lebih
doa kekuatan khusus, misalnya Hizb al-Bahr milik Tarekat Syadziliyah,
Subhan ad-Daim Isawiyah, Wirid as-Sattar milik Khalwatiyah, Awrad
Fathiyyah milik Hamadaniyyah, dan lain-lain. Ciri khusu dari dzikir dan
wirid yang menjadi andalan milik penuh tarekat ini adalah Shalawat Fatih
dan Jauharat al-Kamal. Mengenai Shalawat Fatih, at-Tijani mengatakan
bahwa dirinya telah memperintahkan untuk mengucapkan doa-doa ini oleh
Nabi SAW sendiri. Meskipun pendek, doa itu dianggap mengandung kebaikan
dalam delapan jenis: orang yang membaca sekali, dijamin akan menerima
kebahagiaan dari dua dunia; juga membaca sekali akan dapat menghapus
semua dosa dan setara dengan 6000 kali semua doa untuk memuji kemuliaan
Tuhan, semua dzikir dan doa, yang pendek maupun yang panjang, yang
pernah dibaca di alam raya. Orang yang membacanya 10 kali, akan
memperoleh pahala yang lebih besar dibanding yang patut diterima oleh
sang wali yang hidup selama 10 ribu tahun tetapi tidak pernah
mengucapkannya. Mengucapkannya sekali setara dengan doa seluruh
malaikat, manusia, jin sejak awal penciptaan mereka sampai masa ketika
doa tersebut diucapkan, dan mengucapkannya untuk yang kedua kali adalah
sama dengannya (yaitu setara dengan pahala dari yang pertama) ditambah
dengan pahala dari yang pertama dan yang kedua, dan seterusnya.
Tentang
Jauharat al-Kamal, yang juga diajarkan oleh Nabi SAW sendiri kepada
at-Tijani, para anggota tarekat ini meyakini bahwa selama pembacaan
ketujuh Jauharat al-Kamal, asalkan ritual telah dilakukan sebagaimana
mestinya, Nabi SAW beserta keempat sahabat atau khalifah Islam hadir
memberikan kesaksian pembacaan itu. Wafatnya Nabi SAW tidaklah menjadi
tirai yang menghalangi untuk selalu hadir dan dekat kepada mereka. Bagi
at-Tijani dan anggota tarekatnya, tidak ada yang aneh dalam hal
kedekatan ini. Sebab wafatnya Nabi SAW hanya mengandung arti bahwa dia
tidak lagi dapat dilihat oleh semua manusia, meskipun dia tetap
mempertahankan penampilannya sebelum dia wafat dan tetap ada di
mana-mana: dan dia muncul dalam impian atau di siang hari di hadapan
orang yang disukainya.
Akan tetapi kaum muslim ortodoks membantah
penyataan Ahmad Tijani dan para pengikutnya yang menyangkut pengajaran
Nabi SAW ini kepadanya. Sebab jika Nabi SAW secara pribadi mengajari
at-Tijani rumusan-rumusan doa tertentu maka itu berarti bahwa Muhammad
telah "wafat" tanpa menyampaikan secara sempurna pesan kenabiannya, dan
mempercayai hal ini sama dengan tindak kekafiran, kufr.
Tentu
saja, alasan kaum muslim ortodoks ini masih bisa diperdebatkan, misalnya
tanpa bermaksud membela tarekat ini dengan mempertanyakan kembali,
apakah betul pengajaran Nabi SAW melalui mimpi itu berarti mengurangi
kesempurnaan kenabiannya? Bukankah substansi dari pengajaran itu lebih
tertuju kepada perintah bershalawat yang masih dalam bingkai pesan
kenabian (syari'at), dan bukan merupakan hal yang baru? Bukankah Nabi
SAW pernah bersabda bahwa mimpi seorang mukmin seperempat puluh enam
dari kenabian? Menyangkut pahala pembacaannya, bukankah rahmat dan
anugerah Allah yang tak terhingga akan tercurahkan kepada umat Islam
yang senantiasa mewiridkan shalawat kepada sang hamba paripurna, kekasih
dan pujaan-Nya, Muhammad Rasulullah SAW?. (Sufinews)
Subahanawoh,
BalasHapus