Moh Mahfud MD |
Oleh: Moh Mahfud MD
Ada
pemahaman yang keliru tentang istilah "praduga tak bersalah" sebagai
asas dalam penegakan hukum. Kerap diartikan, asas praduga tak bersalah
adalah kaidah hukum yang melarang orang menduga seseorang telah
melakukan pelanggaran hukum, misalnya, melakukan tindak pidana korupsi
atau pembunuhan.
Pengertian
praduga tak bersalah yang seperti itu justru salah. Seseorang diajukan
ke pengadilan pidana justru dimulai dari dugaan, dilanjutkan dengan
penyelidikan, dilanjutkan lagi dengan sangkaan, kemudian dilanjutkan
lagi dakwaan, dan seterusnya sampai akhirnya vonis. Jadi tidak mungkin
seseorang diajukan ke pengadilan pidana kalau tidak dimulai dari praduga
lebih dulu bahwa orang tersebut melakukan kesalahan. Lalu apa arti asas
praduga tak bersalah?
Ia
berarti bahwa seseorang tak boleh diperlakukan seperti orang yang sudah
dijatuhi hukuman atau divonis oleh pengadilan sebagai orang yang
terpidana dengan kekuatan hukum tetap (inkracht). Dengan asas praduga
tak bersalah, misalnya, seseorang belum boleh disebut terpidana, boleh
tidak ditahan dengan alasan hukum tertentu, belum boleh dimasukkan ke
penjara permanen karena statusnya masih ditahan, hartanya yang disita
belum boleh dilelang untuk dimasukkan ke kas negara, dan hak-hak sipil
dan politiknya belum tetap diberikan.
Tetapi
menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana itu bukan hanya
boleh, bahkan ada kalanya harus dilakukan manakala ada laporan atau
indikasi bahwa seseorang telah melakukan sesuatu yang dilarang oleh
hukum. Makanya ada orang yang dikatakan "diduga" telah melakukan sesuatu
sehingga "diselidiki" untuk kemudian ditingkatkan menjadi "tersangka".
Semuanya masih dalam konteks orang belum bersalah atau praduga tak
bersalah. Ditengah-tengah masyarakat pun dugaan-dugaan atau praduga
bersalah seperti itu tak terhindarkan dan boleh dilakukan.
Siapa
pun boleh memperbincangkan dan menguatkan dugaan bahwa seseorang telah
melakukan sesuatu tindak pidana ketika orang itu ditahan oleh polisi
atau oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan boleh juga menduga
seseorang telah melakukan korupsi jika melihat perkembangan kekayaan
orang itu meningkat secara tidak wajar. Itu semua tak melanggar asas
praduga tak bersalah. Boleh saja orang menduga dan mendiskusikan
seseorang yang sebelum menjadi pejabat kekayaannya hanya Rp350 juta,
tetapi hanya beberapa bulan menjadi pejabat tiba-tiba kekayaannya
menjadi 20 miliar.
Orang
yang menduga bahwa pejabat itu korupsi boleh saja, asal ada
indikasi-indikasi yang mendasarinya dan tidak secara kategoris
mengatakan yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana. Tak
mungkinlah penentuan terjadinya tindak pidana oleh seseorang tidak
dimulai dari dugaan-dugaan. Hanya saja, jika dugaan-dugaan itu tidak
disertai indikasi yang kuat dan menyertakan fitnah yang mengada-ada,
maka yang memfitnah itu bisa diduga dan disangka telah melakukan
pencemaran nama baik. Jadi, siapa pun yang menduga seseorang telah
melakukan tindak pidana tak perlu khawatir, jika memang sudah ada
indikasi kuat, apalagi orang yang diduga memang sudah ditahan oleh
aparat penegak hukum.
Secara
filosofis pun sebenarnya adanya konstitusi dan hukum dikarenakan
manusia perlu berpraduga bahwa manusia itu patut diduga punya potensi
untuk melanggar hakhak orang lain. Karena dugaan seperti itulah
konstitusi dan hukum dibuat guna mengantisipasi problem yang bisa muncul
berdasar kecurigaan itu. Kalau kita tidak menganggap dan tidak menduga
manusia akan menyeleweng maka tak perlu ada konstitusi dan hukum. Di
dalam ajaran Islam pun sering terjadi penyalahartian hukum tentang
prasangka. Dikatakan bahwa prasangka itu tidak diperbolehkan di dalam
Islam, bahkan sering dikatakan bahwa suuzan (prasangka buruk) merupakan
sesuatu yang haram.
Padahal,
dalam kehidupan sehari-hari prasangka itu tak dapat dihindarkan, bahkan
dalam banyak hal tindakan kita sebagai manusia sering dilakukan karena
adanya prasangka atau kekhawatiran tentang perilaku orang lain.
Lihatlah, di dalam kitab suci Alquran pun tidak ada larangan mutlak bagi
kita untuk berprasangka. Frase "jangan suka berprasangka" di dalam
Alquran pun tidak merupakan pengharaman (littahrim) karena hanya
"sebagian dari prasangka" itu yang dinyatakan jelek. Di dalam Surat
Al-Hujurat ayat 12 dinyatakan, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa."
Tampak
jelas bahwa dari sudut agama pun berprasangka itu diperbolehkan, sebab
yang buruk dan berdosa dari prasangka itu hanyalah sebagian, sedangkan
sebagian lainnya adalah tidak buruk. Karena itu, sebenarnya berprasangka
itu pada dasarnya boleh atau mubah (lil-ibahah). Menduga bahwa
seseorang telah melakukan korupsi setelah mendengar dakwaan di
persidangan, meski belum divonis, tentu diperbolehkan. Sebagai hal yang
pada dasarnya mubah (boleh) prasangka bisa menjadi jelek (haram) atau
baik (sunah) sesuai dengan alasan dan indikasinya; apakah untuk
memfitnah tanpa indikasi yang kuat ataukah dimaksudkan untuk
kehati-hatian dan mengantisipasi problem karena adanya indikasi-indikasi
yang cukup.
Dengan
demikian, secara yuridis melakukan praduga bersalah itu tak dilarang
dan menurut agama melakukan suuzan adalah mubah saja. Tak usah takutlah.
[]
KORAN SINDO, 22 Maret 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hakim Konstitusi
Komentar
Posting Komentar