Perang Suriah |
Sebenarnya, invasi Turki ke Syria utara yang disetujui Moskow, merupakan bentuk awal safe zone tersebut. Bedanya, kini Washington melihatnya sebagai kesempatan untuk mewujudkan formalitasnya (baca: No Fly Zone).
Dengan gencatan senjata yang berjalan relatif lancar, AS dan Sekutunya melihat hampir tak ada ruang yang bisa dimanfaatkan untuk gejolak 'oposisi'.
Ajakan Trump pada Saudi dan UEA untuk ikut serta tak lain hanyalah mengambil alih peran Kurdi sebagai satu-satunya 'penjamin' keamanan di Syria utara, untuk diserahkan pada jihadis yang sudah 'lunak' ditekan Turki.
Rusia berpotensi terjebak pada idealismenya sendiri atas penghentian konflik secepat mungkin, namun beresiko mematahkan tulang punggung Syria yang kini di atas angin melawan Daesh dan al-Qaeda, dengan mewacanakan untuk mendukung rencana Trump tersebut.
Menilik sejarah, safe zone yang coba dijejalkan AS di Syria malah punya sejarah kelam di negara-negara lain di masa lalu. Selain itu, penerapannya juga akan melanggar hukum internasional, hukum AS sendiri, dan juga kesalahan strategis yang cukup fatal.
Melindungi penduduk sipil, adalah preteks yang selalu digaungkan sebelum penerapan safe zone. Namun ingatkah kamu, safe zone tak mampu menghentikan pembantaian warga Syiah Iraq oleh Saddam, juga pembantaian warga Bosnia di Srebenica?
Safe zone akan mewajibkan penyelenggaranya untuk ikut mempertahankan kedaulatan negara itu meski dengan cara militer (termasuk angkatan udara), dan tanpa persetujuan Syria, ini merupakan pelanggaran kedaulatan Syria.
Belum lagi kita bahas infiltrasi jihadis berdaster dan bercadar ke area penduduk sipil nantinya. Jadi, jangan tertipu dengan istilah, karena sejatinya, Trump sedang mengupayakan No Fly Zone di Syria. [Helmi Aditya]
Komentar
Posting Komentar