KH. Ma'ruf Amin |
Para penghasut lupa bahwa guru-guru kami bukan hanya paham teks atau dalil. Mereka paham, misalnya, ayat menyatakan pada diri (hati) manusia diilhamkan keburukan dan kebaikan, dan berbahagialah mereka yang mensucikannya (aflaha zakkaha). Bagaimana mensucikannya? Ulama NU bukan hanya mempelajari aqidah seperti dalam aqaid seket (50), fiqh empat madzhab, hadis dan al-Qur'an, tetapi mereka juga mendalami 'tazkiyatun nafs' dalam ajaran Tasawuf/Tarekat. Mereka mengikuti Sufi seperti Imam Junaid al-Baghdadi, meraknya para ulama, membaca Ihya Ulumiddin-nya Imam al-Ghazali yang berisi pelajaran akhlak luar biasa, membaca Risalah Qusyairi, al-Hikam Ibn Athaillah, Sirr al-Asrar dan Futuhat Rabbani dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan masih banyak lagi kitab tasawuf/akhlak. Tasawuf adalah akhlak, dawuh Imam Junaid.
Ulama NU menjaga tradisi tasawuf dan tarekat secar organisatoris melalui JATMAN -- ada lebih dari 40 tarekat yang bernaung di bawahnya. Bagaimana penghasut kebencian hendak menghasut ulama macam Mbah Maimoen, Gus Mus, Habib Luthfi, Yai Ma'ruf, Habib Jakfar al-Kaff, Yai Said, Mbah Dimyati, Pak Quraish, dan yang semacam itu?
Mereka tak mengajarkan caci-maki. Begitulah ulama, tak mau caci maki, memprovokasi ajak huru hara dan kebencian. Gus Mus dan Yai Ma'ruf yang pernah diprovokasi, tahu apa yang dimaui provokator/penghasut. Itulah kenapa lebih banyak murid-murid mereka yang tetap "woles" santai walau ada marah. Sebab kyai sepuh beri tauladan kebajikan, berpikir jernih, ora waton ngamuk. Isu yang berkembang saat ini amat rumit, tak bisa selesai dengan marah-marah, apalagi adu domba. Kita mesti Iqra, membaca peristiwa dan berpikirlah jernih. Iqra bismi rabbika. Membaca disertai ingat (dzikir) pada Rabb, Tuhan Yang Maha Mendidik, Mengatur dan Memelihara, supaya kita tak takabur. Maka yang membaca dengan menyertakan Rabb akan lebih sabar menelaah persoalan, lebih jernih, mempertimbangkan pemeliharaan ketimbang kerusakan dan menuruti hawa nafsu-syahwat egoisme, nafs al-amarah.
Dalam perkelahian syahwat kuasa, ada banyak perbuatan yang menghanguskan amal: Benci, fitnah, adu domba, umpatan, dusta, dan seterusnya. Guru-guru kami tahu itu. Ulama yang arif sadar kita hanyalah setitik debu di kaki al-Musthofa Saw. Seberapa banyak amal dari setitik debu? Sayang jika hangus hanya karena syahwat kekuasaan yang fana.
Kini kita paham mengapa guru-guru kami mampu memberi maaf. Maaf adalah lebih mendalam ketimbang ampun. Allah memiliki nama al-Afuww (Mahapemaaf) dan al-Ghaffar (Mahapengampun). Ampunan dari Allah, menurut Imam al-Ghazali, adalah ampunan atas dosa, namun dosa kita masih ada. Dosa tersebut ditutupi oleh Allah di dunia dan akhirat, sehingga Allah tidak menyiksa seseorang dengan dosa tersebut. Namun memaafkan berarti menghapus dosa, seolah-olah seseorang tidak pernah melakukan kesalahan. Dosa telah dihapus tanpa ada bekas. Allah tak lagi menyebut-nyebut dosanya ketika Dia sudah memaafkan, namun ketika Dia mengampuni, kadang dosanya masih disebut atau ditampakkan.
Karenanya hamba diharapkan memiliki sifat pemaaf ini saat orang meminta maaf. Bukankah dalam doa shalat kita, permintaan "warhamni, wajburni, warfa'ni, warzuqni, wahdini, wa 'afini" diawali dengan permintaan ampun (rabbighfirli) dan ditutup dengan permohonan maaf (wa'fu 'anni)?
Kita punya hati nurani dan akal, sebaiknya tak disia-siakan. Afala ta'qiluun, afala tatafakkarun? (Oleh: Triwibowo BS).
Komentar
Posting Komentar