Langsung ke konten utama

Metodologi Fikih Nusantara



Oleh: Zainul Mun'im Hasan


Muktamar ke-33 NU yang diselenggarakan di empat pesantren Jombang yang menjadi cikal-bakal dan saksi atas lahirnya Nahdlatul Ulama, yakni pesantren Tebuireng, Tambak Beras, dan Denanyar mengangkat sebuah tema yang. NU sengaja memilih tema "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia" sebagai modal awal mengkampanyekan Keislaman ala Nusantara yang sedang diupayakan akhir-akhir ini.


Terlepas dari diskusi dan perdebatan panjang tentang status epistemologis dan ontologis Islam Nusantara tersebut secara umum, tulisan ini hendak mendiskusikan tentang metodologi fikih-nya; fikih ala Nusantara. Penulis beranggapan hal ini penting untuk didiskusikan karena metodologi fikih (usulul fiqh) dan produk hukumnya (fiqh) merupakan manifestasi Islam yang paling empiris dan dinamis sampai saat ini, khususnya dalam masalah sosial-keagamaan. Hal ini dapat dipahami dari penjelasan para ulama seperti Wahbah Zuhaili dalam al-Usul al-fiqh al-Islami, bahwa aspek aksiologis (kegunaan) metodologi fikih (usulul fiqh) di antaranya adalah untuk mengetahui hukum-hukum dan mengamalkannya di tengah realitas sosial yang akan selalu berkembang di setiap wilayah. Oleh karena itu, ia niscaya bersifat dinamis yang selalu menyesuaikan terhadap kemaslahatan umat di berbagai daerah yang memiliki realitas sosial yang beragam. Keniscayaan tersebut termanifestasikan dalam konsep 'urf, kearifan lokal, atau adat-istiadat yang menjadi salah satu teori dalam metodologi fikih yang menjadikan adat-istiadat –selama tidak bertentangan dengan prinsip syari'at- sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan hukum.



Konsep dan pertimbangan inilah yang di kemudian hari melahirkan kaidah fikih al-'adatu muhakkamah (pertimbangan adat-istiadat dapat menjadi dasar hukum atas suatu peristiwa) dan kaidah al-hukmu yataghayyar bi taghayyuril azminah wal amkinah wal ahwal wal 'adat (pertimbangan hukum berubah mengikuti perubahan waktu, tempat, kondisi, dan adat-istiadat). Maka, tidak berlebihan bila para pakar berpandangan bahwa yang menjadikan Islam tetap relevan di sepanjang zaman (salihun likulli zaman wa makan) adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dihasilkan dari metodologi fikih yang selalu menyesuaikan dengan kebutuhan zaman tersebut.


Dengan demikian, mendiskusikan tentang Islam tidak mungkin terselesaikan bila kajian fikih dan metodologinya tidak diikutsertakan. Begitu juga dalam tataran yang lebih spesifik; konsep Islam Nusantara terasa tidak akan "sempurna" bila tidak mengikut-sertakan kajian tentang bagaimana metodologi fikih ala Nusantara di dalamnya dikonstruksi. Sebut saja bagaimana Islam Nusantara dengan metodologi fikihnya merespon dan menyikapi asas tunggal Pancasila? Bagaimana Islam Nusantara menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada dalil validnya dalam al-Qur'an dan Sunnah? Apakah Islam Nusantara akomodatif terhadap kearifan lokal yang hidup di tengah realitas sosial masyarakat Nusantara itu sendiri? Dan yang jarang dipertanyakan dan didiskusikan oleh berbagai kalangan, yaitu bagaimana Islam Nusantara dengan metodologi fikihnya menyikapi permasalahan lingkungan dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia yang semakin hari semakin dieksploitasi oleh pihak kapitalis? Semua pertanyaan tersebut wajar untuk diajukan selama Islam Nusantara belum memiliki atau minimal belum menjelaskan bagaimana metodologi fikihnya diaplikasikan untuk kemudian diterapkan.


Penulis tidak berkeyakinan dengan melalui tulisan ini akan lahir metodologi fikih yang telah mapan dan dapat diterapkan di Nusantara, akan tetapi paling tidak, tulisan ini sedikit banyak dapat berperan dalam membentuk metodologi fikih yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan muslim Nusantara (Indonesia) dan tetap berkhaskan keislaman Nusantara.


Status Quo Fikih Syafi'iyyah


Cendekiawan Muslim Indonesia yang sekaligus Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Azyumardi Azra dalam tulisannya di Republika pada tanggal 25 Juni lalu menjelaskan bahwa Islam Nusantara merupakan Islam distingtif dengan Islam di daerah lainnya, yang dalam teologi bermazhab Asy'ariyah, dalam tasawuf mengikuti tokoh al-Ghazali, dan dalam fikih mengikuti mazhab Syafi'iyyah. Apa yang dijelaskan oleh Azyumardi tersebut bukan tanpa bukti. Dalam tradisi pesantren yang dianggap sebagai basis Islam Nusantara, kita dapat 'merasakan' bagaimana pendapat-pendapat hukum (ulama) mazhab Syafi'iyyah menjadi rujukan utama dalam bahtsul masail atau diskusi hukum sampai saat ini. Hal ini dapat dipahami dari metode yang paling dominan digunakan ketika ditemukan dua pendapat hukum yang berbeda dalam sebuah diskusi hukum, yakni metode tarjih (memilih satu pendapat hukum dari berbagai pendapat hukum yang saling bertentangan dalam satu masalah yang sama).


Ketika dihadapkan pada beragam pendapat hukum antar mazhahib (mazhab-mazhab) yang saling bertentangan, para santri diharuskan memilih pendapat hukum dari para ulama Syafi'iyyah. Ketika pertentangan pendapat tersebut terdapat di antara ulama Syafi'iyyah, maka pendapat Imam Nawawi dan Imam Rafi'i menjadi pendapat yang paling valid. Begitu juga seterusnya, ketika pertentangan hukum tersebut terjadi di antara Imam Nawawi dan Imam Rafi'i, maka pendapat Imam Nawawi yang diunggulkan. Pemilihan Imam Nawawi bukan tanpa alasan, ia dipilih karena dianggap sebagai muharrir mazhab Syafi'i. Di tangan ulama ini pikiran-pikiran Imam Syafi'i dan pakar-pakar pengikutnya terseleksi. Bahkan, Zayn al-Iraqi berpendapat bahwa Imam Nawawi merupakan orang pertama yang menerapkan kajian kritis terhadap sebuah hadits dalam karya-karyanya. Hal ini merupakan salah satu kontribusi Imam Nawawi yang dinilai penting melebih kontribusi Imam Rafi'i. Selain itu, Imam Suyuti berpendapat bahwa salah satu karya al-Nawawi, Rawdah dan Minhaj di kemudian hari dijadikan sebagai salah satu rujukan para ahli hukum Syafi'iyyah dalam mengkaji doktrin hukum yang memiliki perbedaan dengan mazhab lainnya.


Metode Tarjih (pengunggulan) ini menunjukkan bahwa dalam tradisi pesantren, hierarki kevalidan sebuah pendapat hukum bergantung kepada tokoh yang menyatakan pendapat tersebut (mujtahid). Metode tarjih ini juga menjadi tradisi dalam bahtsul masail Nahdlatul Ulama. Meskipun NU mengakui Al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang utama, akan tetapi dalam prakteknya penetapan hukum banyak berdasarkan pendapat hukum para fuqaha' (ahli hukum).


Hal ini dapat dilihat dari proses fatwa pada Muktamar pertama tahun 1926, ulama NU sepakat menjawab pertanyaan "Apakah wajib bagi seorang Muslim untuk mengikuti mazhab yang empat?" dengan jawaban: "Sekarang, wajib bagi seorang Muslim untuk mengikuti salah satu dari Imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali." Jawaban ini berdasarkan pada kitab al-Mizanusy Sya'rani, al-Fatwa al-Kubra, dan Nihayatul Usul. Lebih lengkapnya, proses fatwa bahtsul masail Nahdlatul Ulama dapat dilihat dalam buku Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004).


Metode tersebut menyimpulkan bahwa mayoritas fikih di Nusantara lebih bercorak ijtihad qauli, yakni upaya penemuan hukum dengan berdasarkan langsung kepada pendapat-pendapat para ulama, khususnya dalam mazhab Syafi'iyyah. Ijtihad ini semakin menunjukkan bahwa mazhab Syafi'iyyah memiliki status quo dalam dunia fikih Nusantara. Pada akhirnya, bermazhab Syafi'iyyah dalam fikih menjadi karakteristik baku Islam Nusantara. Padahal, dalam perdebatan para ushuliyyin (para pakar metodologi fikih), mazhab qauli ini tidak lepas dari berbagai permasalahan, khususnya dewasa ini. Di antaranya adalah produk hukum yang dihasilkan dari ijtihad para ulama terdahulu belum tentu sesuai untuk kemaslahatan saat ini.


Secara kultural, fikih klasik (khususnya mazhab Syafi'iyyah) yang cenderung menjadi rujukan utama dalam dunia fikih Nusantara lahir dari kebutuhan masyarakat abad pertengahan dalam wilayah dan konteks budaya tertentu (Timur Tengah dan Asia Barat), sedangkan kita (Muslim Nusantara) hidup dan tumbuh di wilayah dan konteks budaya lain yang bisa jadi berbeda. Maka sangat niscaya bila sebagian dari produk-produk hukumnya merupakan cerminan kepentingan dari wilayah dan masa tersebut, bukan untuk wilayah dan masa saat ini.



Hal ini juga yang membuat Imam Syafi'i memiliki pendapat hukum yang berbeda yang dikenal dengan istilah qaul qadim (pendapat lama) yakni pendapat Imam Syafi'i ketika masih Baghdad, Irak, dan qaul jadid (pendapat baru) yakni pendapat Imam Syafi'i ketika sudah pindah ke Mesir, meski sebagian para ulama seperti Nahrawi Abdus Salam dalam kitabnya al-Imam al-Syafi'i fi Madzabihi al-Qadim wa al-Jadid berpendapat bahwa qaul qadim merupakan pendapat yang terpilih karena dihasilkan melalui pengembaraan panjang selama 25 Tahun. Namun sebagian ulama lainnya, seperti yang dijelaskan oleh Abu Zahrah dalam al-Syafi'i: Hayatuhu wa 'Ashruhu wa Ara`uhu wa Fiqhuhu, berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara pendapat Imam Syafi'i di Mesir dengan pendapatnya ketika masih di Baghdad, Irak. Dengan demikian, Secara sosiologis, tidak dapat dielakkan bahwa salah satu faktor perubahan pandangan hukum Imam Syafi'i adalah faktor budaya.


Dewasa ini, telah terjadi transformasi metodologis fikih dalam dinamika Islam Nusantara. Bahtsul Masail dan diskusi hukum tidak lagi selalu berdasarkan kepada nash fuqaha (pendapat para ahli hukum) yang termaktub dalam kitab-kitab otentik (kutubul mu'tabarah), akan tetapi para ulama Nusantara lebih berani dengan berijtihad secara kolektif (ijtihad ijtima'i) dengan menggunakan seperangkat metode-metode mazhab yang empat. Dengan kata lain, meski masih minim, namun telah terjadi transformasi dari proses mazhab qauli (bermazhab secara leterlek) menuju proses mazhab manhaji (bermazhab secara metodologis).


Dari Mazhab Qauli menuju Mazhab Manhaji


Mazhab manhaji berarti bermazhab secara metodologis. Artinya produktif berijtihad, akan tetapi tetap dalam garis-garis metodologis yang telah ditetapkan dalam mazhab tersebut. Hakikatnya, gagasan untuk hijrah dari mazhab qauli (bermazhab secara leterlek) menuju mazhab manhaji (bermazhab secara metodologis) bukan merupakan ide baru dalam dunia fikih internasional. Gagasan ini telah dipraktekkan oleh Imam Nawawi pada abad ke 7 Hijriyah atau bertepatan pada abad ke 13 Masehi, hanya saja pada saat itu mazhab manhaji hanya digunakan sebagai solusi masalah perbedaan pendapat hukum dari para ulama Syafi'iyyah. Pada saat itu, Imam Nawawi hendak mendamaikan berbagai pandangan dan aliran metodologi dalam mazhab Syafi'iyyah (aliran Khurasan dan aliran Irak). Dalam rangka untuk melakukannya, ia mengkaji karya-karya setiap aliran/madrasah, lalu mengkaji metodologi dan analisis hukumnya, lalu kemudian memberikan kesimpulan dan pendapatnya sebagai representasi mazhab Syafi'iyyah. Adapun tokoh yang oleh Imam Nawawi dianggap sebagai representasi dari kelompok Khurasan adalah Imam Ghazali dan dari kelompok Irak adalah Imam Shirazi. Hal ini juga dapat dilihat dari karya Imam Nawawi yang berjudul al-Majmu' Sharh al-Muhadhdhab dan Tashih al-Tanbih yang berisi komentar terhadap karya Imam Shirazi yang berjudul al-Muhadhdhab dan al-Tanbih. Sedangkan karyanya yang berjudul Rawda dan Minhaj berisi komentar terhadap dasar hukum tokoh-tokoh Khurasan. Guna menganalisis metode penalaran antara aliran Irak dan Khurasan, Imam Nawawi menggunakan ijtihad manhaji (bermazhab secara metodologis). Pemahamannya yang mendalam atas metodologi fikih Imam Syafi'i menjadi dasar menganalisis perbedaan kedua pendapat hukum aliran tersebut untuk kemudian mencari solusi yang paling sesuai dengan metodologi fikih Imam Syafi'i, bukan produk hukumnya.


Baru akhir-akhir ini ide untuk beralih pada ijtihad manhaji tidak hanya sebagai metode tarjih, akan tetapi juga sebagai metodologi penetapan hukum Islam atas berbagai permasalahan, muncul. Di Indonesia, diawali dengan gagasan fikih sosial KH Sahal Mahfudz dengan buku Metodologi Fikih Sosial. Dalam pidato pengukuhan gelar Doktor Honoris Causa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, KH. Sahal Mahfudz menyampaikan bahwa fikih sosial yang beliau gagas memiliki lima ciri pokok. Salah satunya adalah transformasi dari bermazhab secara tekstual (madzhab qauli/ ijtihad qauli) ke bermazhab secara metodologis (madzhab manhaji/ijtihad manhaji).


Penulis berpandangan bahwa berijtihad secara metodologis atau manhaji merupakan upaya untuk membentuk fikih Nusantara, yakni fikih yang lebih adaptif terhadap kearifan lokal Nusantara/Indonesia dan sesuai dengan kemaslahatan Muslim Indonesia. Ada beberapa alasan untuk pandangan ini: Pertama, untuk tujuan pengembangan fikih, para ulama klasik, khususnya Mazhab yang empat (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanbaliyyah) telah menyediakan seperangkat metode-metode ijtihad yang kokoh dan kaidah-kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah yang teruji. Metodologi fikih atau ushul fikih yang ditawarkan oleh para ulama klasik terbukti mampu menjadi solusi penetapan hukum berbagai persoalan baik yang terkait dengan sosial-politik dan budaya, bahkan lingkungan hingga kini. Semisal mazhab Hanafiyyah dengan metodologi istihsan, mazhab Malikiyyah dengan metodologi istislah atau maslahah mursalah, Mazhab Syafi'iyyah dengan metodologi qiyas, dan Mazhab Hanbaliyyah dengan metodologi istihsab-nya. Terlepas dari perbedaan di antara keempat mazhab tersebut, sampai saat ini belum ada yang mampu menyamai metodologi-metodologi tersebut dalam hal produktifitas hukum yang mereka hasilkan.


Alasan kedua adalah adaptif terhadap kearifan lokal dan tradisi dalam setiap proses ijtihadnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ijtihad manhaji adalah ijtihad dengan berdasarkan kepada metodologi-metodologi mazhab empat, oleh karena ia disebut juga dengan mazhab manhaji, yakni bermazhab secara metodologis. Dengan demikian, bermazhab atau berijtihad semacam ini meniscayakan sebuah ijtihad murni terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di Nusantara dengan mempertimbangkan kearifan lokal, tradisi, atau adat-istiadat. Hal ini karena metodologi yang digunakan adalah metodologi fikih mazhab yang empat (madzahibul arba'ah) yang secara sosiologis sangat adaptif terhadap anasir-anasir budaya sebagai salah satu pertimbangan lokal sebuah hukum. Semisal metode 'urf yang dimiliki oleh semua mazhab empat, meski dengan konsep yang berbeda. Dengan demikian, bermazhab secara metodologis atau manhaji merupakan upaya untuk melahirkan produk hukum (fiqh) yang lebih bermaslahat bagi Muslim Nusantara dan lebih bercorak Nusantara, bukan bercorak Arab.


Alasan ketiga adalah metodologi yang dipakai tetap mencirikan keislaman Muslim Nusantara, yakni salah satunya dalam fikih mengikuti mazhab Syafi'iyyah atau lebih umumnya mengikuti mazhab yang empat (madzahibul arba'ah). Pertimbangan ini penting, karena dengannya, upaya untuk melahirkan fikih yang lebih sesuai dengan realitas Nusantara tidak lantas harus menegasikan karakteristik keislaman Nusantara yang sudah dikenal di dunia Internasional sebagai pengikut mazhab Syafi'iyyah.


Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas semua, transformasi dari pola bermazhab dan berijtihad qauli (tekstual) menuju pola manhaji (metodologis) merupakan upaya untuk mengkontekstualkan ajaran-ajaran Islam dalam kondisi sosial di berbagai tempat dan zaman. Bermazhab secara metodologis di China, maka akan melahirkan produk fikih yang bercorak China. Begitu juga di Nusantara, maka akan melahirkan produk fikih yang penuh dengan nuansa budaya Nusantara, tentunya dengan tetap melihat aspek kemaslahatannya. Berbeda dengan bermazhab secara manhaji, bermazhab qauli atau secara tekstual tidak adaptif dan hampa budaya, karena kita akan selalu berdasarkan langsung kepada pendapat-pendapat para ahli hukum (fuqaha) klasik yang sebagian dianggap sudah tidak relevan dengan budaya dan aspek kemaslahatan yang kita tuntut saat ini, karena perbedaan letak geografis, waktu, dan tentu budaya yang tumbuh di dalamnya. Dengan demikian, bermazhab secara manhaji atau metodologis merupakan cara dan upaya paling kuat untuk melahirkan fikih Nusantara, yakni fikih yang mempertimbangkan kemaslahatan di Nusantara tanpa harus menegasikan karakteristiknya. Waallahu 'alam bisshawab... [Nu online]


*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta dan Anggota Komunitas Islam Nusantara Indonesia

Artikel Terkait

Komentar

Artikel Populer

Prahara Aleppo

French Foreign Minister Bernard Kouchner takes off a Jewish skull-cap, or Kippa, at the end of a visit to the Yad Vashem Holocaust Memorial in Jerusalem, Tuesday, Sept. 11, 2007. Kouchner is on an official visit to Israel and the Palestinian Territories. (AP Photo/Kevin Frayer) Eskalasi konflik di Aleppo beberapa hari terakhir diwarnai propaganda anti-rezim Suriah yang sangat masif, baik oleh media Barat, maupun oleh media-media “jihad” di Indonesia. Dan inilah mengapa kita (orang Indonesia) harus peduli: karena para propagandis Wahabi/takfiri seperti biasa, mengangkat isu “Syiah membantai Sunni” (lalu menyamakan saudara-saudara Syiah dengan PKI, karena itu harus dihancurkan, lalu diakhiri dengan “silahkan kirim sumbangan dana ke no rekening berikut ini”). Perilaku para propagandis perang itu sangat membahayakan kita (mereka berupaya mengimpor konflik Timteng ke Indonesia), dan untuk itulah penting bagi kita untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Suriah. Tulisan i

Mengelola Blog Wordpress dan Blogspot Melalui Ponsel

Di jaman gatget yang serba canggih ini, sekarang dasboard wordpress.com dan blogspot.com semakin mudah dikelola melalui ponsel. Namun pada settingan tertentu memang harus dilakukan melalui komputer seperti untuk mengedit themes atau template. Dan bagi kita yang sudah terbiasa "mobile" atau berada di lapangan maka kita bisa menerbitkan artikel kita ke blog wordpress.com melalui email yang ada di ponsel kita, so kita nggak usah kawatir.

Amalan Pada Malam Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha

Nabi Muhammad ﷺ bersabda: عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول ﷺ قال: “من أحيا ليلة الفطر وليلة الأضحى لم يمت قلبه يوم تموت القلوب” رواه الطبراني في الكبير والأوسط. Dari Ubadah Ibn Shomit r.a. Sungguh Rosulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa menghidupkan malam Idul Fitri dan malam Idul Adlha, hatinya tidak akan mati, di hari matinya hati." ( HR.Thobaroni ) عن أبي أمامه رضي الله عنه عن النبي ﷺ قال : “من قام ليلتي العيدين محتسباً لم يمت قلبه يوم تموت القلوب”. وفي رواية “من أحيا” رواه ابن ماجه Dari Abi Umamah r.a, dari Nabi ﷺ, bersabda: Barangsiapa beribadah di dua malam Hari Raya dengan hanya mengharap ALLAH, maka hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati. ( HR. Ibnu Majah ) Bagaimana cara menghidupkan dua Hari Raya itu? Telah disebutkan oleh Syaikh Abdul Hamid Al Qudsi, dengan mengamalkan beberapa amalan: 1. Syaikh Al Hafni berkata: Ukuran minimal menghidupkan malam bisa dengan Sholat Isya’ berjama’ah dan meniatkan diri untuk jama’ah Sholat Shubuh pada besoknya. Atau mempe

Sholawat-Sholawat Pembuka Hijab

Dalam Islam sangat banyak para ulama-ulama sholihin yang bermimpi Rosululloh Shollallohu Alaihi Wasallam dan mendapatkan petunjuk atau isyarat untuk melakukan atau mengucapkan kalimat-kalimat tertentu (seperti dzikir, sholawat, doa dll ). Bahkan sebagian di antara mereka menerima redaksi sholawat langsung dari Rasulullah dengan ditalqin kata demi kata oleh Beliau saw. Maka jadilah sebuah susunan dzikir atau sholawat yg memiliki fadhilah/asror yg tak terhingga.  Dalam berbagai riwayat hadits dikatakan bahwa siapa pun yang bermimpi Nabi saw maka mimpi itu adalah sebuah kebenaran/kenyataan, dan sosok dalam mimpinya tersebut adalah benar-benar Nabi Muhammad saw. Karena setan tidak diizinkan oleh Alloh untuk menyerupai Nabi Muhammad saw. Beliau juga bersabda, "Barangsiapa yg melihatku dalam mimpi maka ia pasti melihatku dalam keadaan terjaga" ----------------------------- 1. SHOLAWAT JIBRIL ------------------------------ صَلَّى اللّٰهُ عَلٰى مُحَمَّدٍ SHOLLALLOOH 'ALAA MUHAMMA

3 Ulama Paku Banten paling keramat yang masih hidup - Himayah atau Pemimpin Ulama di Tanah Banten

Forum Muslim - Banten merupakan provinsi Seribu Kyai Sejuta Santri. Tak heran jika nama Banten terkenal diseluruh Nusantara bahkan dunia Internasional. Sebab Ulama yang sangat masyhur bernama Syekh Nawawi AlBantani adalah asli kelahiran di Serang - Banten. Provinsi yang dikenal dengan seni debusnya ini disebut sebut memiliki paku atau penjaga yang sangat liar biasa. Berikut akan kami kupas 3 Ulama Paku Banten paling keramat yang masih hidup. 1. Abuya Syar'i Ciomas Banten Selain sebagai kyai terpandang, masyarakat ciomas juga meyakini Abuya Syar'i sebagai himayah atau penopang bumi banten. Ulama yang satu ini sangat jarang dikenali masyarakat Indonesia, bahkan orang banten sendiri masih banyak yang tak mengenalinya. Dikarnakan Beliau memang jarang sekali terlihat publik, kesehariannya hanya berdia di rumah dan menerima tamu yg datang sowan ke rumahnya untuk meminta doa dan barokah dari Beliau. Banyak santri - santrinya yang menyaksikan secara langsung karomah beliau. Beliau jug

Kisah Siti Ummu Ayman RA Meminum Air Kencing Nabi Muhammad SAW

Di kitab Asy Syifa disebutkan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW punya pembantu rumah tangga perempuan bernama Siti Ummu Ayman RA. Dia biasanya membantu pekerjaan istri Kanjeng Nabi dan nginap di rumah Kanjeng Nabi. Dia bercerita satu pengalaman uniknya saat jadi pembantu Kanjeng Nabi. Kanjeng Nabi Muhammad itu punya kendi yang berfungsi sebagai pispot yang ditaruh di bawah ranjang. Saat di malam hari yang dingin, lalu ingin buang air kecil, Kanjeng Nabi buang air kecil di situ. Satu saat, kendi pispot tersebut hilang entah ke mana. Maka Kanjeng Nabi menanyakan kemana hilangnya kendi pispot itu pada Ummu Ayman. Ummu Ayman pun bercerita, satu malam, Ummu Ayman tiba-tiba terbangun karena kehausan. Dia mencari wadah air ke sana kemari. Lalu dia nemu satu kendi air di bawah ranjang Kanjeng Nabi SAW yang berisi air. Entah air apa itu, diminumlah isi kendi itu. Pokoknya minum dulu. Ternyata yang diambil adalah kendi pispot Kanjeng Nabi. Dan yang diminum adalah air seni Kanjeng Nabi yang ada dal

ALASAN ALI MENUNDA QISHASH PEMBUNUH UTSMAN

Oleh :  Ahmad Syahrin Thoriq   1. Sebenarnya sebagian besar shahabat yang terlibat konflik dengan Ali khususnya, Zubeir dan Thalhah telah meraih kesepakatan dengannya dan mengetahui bahwa Ali akan menegakkan hukum qishash atas para pemberontak yang telah membunuh Utsman.  Namun akhirnya para shahabat tersebut berselisih pada sikap yang harus diambil selanjutnya. Sebagian besar dari mereka menginginkan agar segera diambil tindakan secepatnya. Sedangkan Ali memilih menunda hingga waktu yang dianggap tepat dan sesuai prosedur. 2. Sebab Ali menunda keputusan untuk menegakkan Qishash adalah karena beberapa pertimbangan, diantaranya : Pertama, para pelaku pembunuh Ustman adalah sekelompok orang dalam jumlah yang besar. Mereka kemudian berlindung di suku masing-masing atau mencari pengaruh agar selamat dari hukuman. Memanggil mereka untuk diadili sangat tidak mungkin. Jalan satu-satunya adalah dengan kekuatan. Dan Ali menilai memerangi mereka dalam kondisi negara sedang tidak stabil sudah pas

Abuya Syar'i Ciomas Banten

''Abuya Syar'i Ciomas(banten)" Abuya Syar'i Adalah Seorang Ulama Yg Sangat Sepuh. Menurut beliau sekarang beliau telah berrusia lebih dari 140 tahun. Sungguh sangat sepuh untuk ukuran manusia pada umumnya. Abuya Sar'i adalah salah satu murid dari syekh. Nawawi al bantani yg masih hidup. Beliau satu angkatan dengan kyai Hasyim asy'ary pendiri Nahdatul ulama. Dan juga beliau adalah pemilik asli dari golok ciomas yg terkenal itu. Beliau adalah ulama yg sangat sederhana dan bersahaja. Tapi walaupun begitu tapi ada saja tamu yg berkunjung ke kediamannya di ciomas banten. Beliau juga di yakini salah satu paku banten zaman sekarang. Beliau adalah kyai yg mempunyai banyak karomah. Salah satunya adalah menginjak usia 140 tahun tapi beliau masih sehat dan kuat fisiknya. Itulah sepenggal kisah dari salah satu ulama banten yg sangat berpengaruh dan juga kharismatik. Semoga beliau senantiasa diberi umur panjang dan sehat selalu Aaamiiin... (FM/ FB )

Daun Pepaya Jepang, Aman Untuk Pakan Kambing di @kapurinjing

KH.MUNFASIR, Padarincang, Serang, Banten

Akhlaq seorang kyai yang takut memakai uang yang belum jelas  Kyai Laduni yang pantang meminta kepada makhluk Pesantren Beliau yang tanpa nama terletak di kaki bukit padarincang. Dulunya beliau seorang dosen IAIN di kota cirebon. Saat mendapatkan hidayah beliau hijrah kembali ke padarincang, beliau menjual seluruh harta bendanya untuk dibelikan sebidang sawah & membangun sepetak gubuk ijuk, dan sisa selebihnya beliau sumbangkan. Beliau pernah bercerita disaat krisis moneter, dimana keadaan sangatlah paceklik. Sampai sampai pada saat itu, -katanya- untuk makan satu biji telor saja harus dibagi 7. Pernah tiba tiba datanglah seseorang meminta doa padanya. Saat itu Beliau merasa tidak pantas mendoakan orang tersebut. Tapi orang tersebut tetap memaksa beliau yang pada akhirnya beliaupun mendoakan Alfatihah kepada orang tersebut. Saat berkehendak untuk pamit pulang, orang tersebut memberikan sebuah amplop yang berisi segepok uang. Sebulan kemudian orang tersebut kembali datang untuk memi