Di tulisan “Dunia Kita" yang lalu, saya memberi link ke artikelnya Andre Vltchek (ia minta Rusia dan China untuk menyelamatkan Venezuela yang hampir tumbang dikuasai oleh Imperium). Jadi, secara global, ada negara-negara yang posisinya berlawanan dengan Imperium, yang terbesar dan terkuat adalah Rusia dan China. Di Timteng, Iran, Irak, Suriah, dan Hizbullah pun bersekutu dengan kedua kekuatan ini.
Pertanyaannya: Apa artinya kalau mau melawan Imperium, Indonesia juga harus bersekutu dengan China? Siapa yang jamin Indonesia akan jaya kalau kerjasama dengan China? Konon produk/proyek China di Indonesia banyak yang ga mutu [ini KONON ya, saya tidak mendalaminya]. Lalu, China juga mendatangkan pekerja dari China, padahal Indonesia surplus tenaga kerja (misal: kasus PLTU di Bali).
Cara melihatnya begini:
(1) Di tataran global, perlu diakui, memang Rusia dan China adalah dua negara yang punya kekuatan untuk melawan Imperium. Tak ada pilihan lain bagi negara-negara yang lebih kecil yang dalam keadaan terjepit, selain bekerja sama dengan keduanya. Misalnya, Iran dan Suriah; mereka melawan Imperium sendirian jelas sangat sulit. Sejauh ini Iran dan Suriah berkali-kali sudah ditolong oleh Rusia dan China lewat kekuasaan veto di PBB. Kalau dua negara besar itu tidak melakukan veto, NATO sudah dari kemarin-kemarin menyerbu Suriah (sebagaimana yang terjadi di Libya, hanya dalam hitungan hari, Qaddafi sudah tumbang diserbu NATO). Kalau Rusia tidak terjun langsung ke medan perang ‘menjaga’ Suriah, mungkin NATO (yang sebenarnya juga sudah menyerang Suriah, namun alasannya untuk membasmi ISIS) juga sudah merebut Damaskus.
Nah, apakah Rusia dan China membantu dengan tulus, atau ada kepentingan? Kalau pakai teori realisnya HI, ya pastilah kedua negara itu punya kepentingan yang besar di Suriah. No free lunch. Tapi, tak bisa dipungkiri, tentara-tentara Rusia bertempur dengan heroisme luar biasa, mereka berani mati demi membela rakyat Suriah yang sudah 5 tahun diserbu oleh ‘mujahidin’ asing. Sementara China, sudah pasti, akan dapat banyak proyek di Suriah kalau Assad menang. Sebaliknya, bila Assad tumbang, yang menjadi burung pemakan bangkai adalah Imperium (sebagaimana terjadi di Irak dan Libya: proyek minyak, konstruksi, bahkan pertanian, dikuasai mereka).
(2) Untuk level bilateral, hitung-hitungannya tetap untung-rugi (kepentingan nasional harus diperjuangkan masing-masing negara). Misalnya, Iran dan Rusia pernah eyel-eyelan (Rusia menunda-nunda penyelesaian proyeknya, padahal duitnya sudah dibayar oleh Iran). Iran sukses bekerja sama dengan China dalam membangun subway (kereta bawah tanah). Kualitasnya sangat bagus dan secara bisnis juga menguntungkan.
Tapi, apakah kalau China kerjasama dengan Indonesia akan sama kualitasnya dan sama menguntungkannya? (China menggunakan kesuksesannya di Iran sebagai salah satu iklan mempromosikan keunggulan mereka di bidang teknologi kereta api). Jawabannya, sangat tergantung negosiasi kedua negara. Yang namanya bisnis, wajar kalau China maunya untung sebesar-besarnya. Nah sejauh mana pejabat Indonesia berani menekan, mengawasi, dan memaksakan perjanjian yang menguntungkan Indonesia? Ini yang jadi pertanyaan besar. Di titik ini, mau kita bisnis dengan China atau dengan Imperium, atau dengan pribumi sekalipun, hasilnya sama saja kalau orang kitanya masih mau disuap dan dikadalin.
Intinya, kita tidak anti kapitalis asing / aseng / pribumi, tetapi menolak semua aksi bisnis yang merugikan rakyat. Kita pinginnya kerjasama bisnis yang sama-sama untung, yang adil, yang menjaga kelestarian alam. Yang paling berperan di sini adalah pemerintah, sejauh mana mereka berani di hadapan para pemodal, demi kepentingan rakyat. Sikap tegas Indonesia mengusir nelayan illegal China di Natuna adalah salah satu langkah positif.
Kalau buat umat Islam, tentu idealnya bangkit menjadi kekuatan tersendiri, sehingga bisa menciptakan dunia yang tenteram dan adil (realisasi dari konsep rahmatan lil alamin). Cuma ya tahu sendirilah kondisinya kayak apa, ustad-ustad sekarang banyak yang sibuk kopar-kapirin orang, bikin serem aja. Apalagi representasi “khilafah” Islam sekarang dimainkan oleh aktor-aktor bayaran “mujahidin” yang main penggal dan ledakin bom di sana-sini.
Kata Syekh Ekrima Al Shabri (Imam Masjid Al Aqsha) waktu datang ke Bandung, syarat kebangkitan umat Islam adalah dengan ilmu. Kalau boleh saya tambahin, syaratnya adalah ilmu + keberanian (keberanian menolak suap/korupsi, menolak takfirisme, menolak adu domba, dll).
Foto dari FP Youth Discussion Forum, captionnya:
(1% Politicians+Corporates) – ( 99% People) = Capitalist World
(1% Politicians+Corporates) – ( 99% People) = Capitalist World
[Sumber : Dina Y. Sulaeman]
Komentar
Posting Komentar