Dalam beberapa hari terakhir merebak kabar atau tepatnya desas-desus
tentang akan dipecatnya jabatan Panglima TNI yang tengah dipegang oleh
Jendral Gatot Nurmantyo. Hal tersebut diperkuat oleh berita yang
ditulis oleh sejumlah media massa tentang hal tersebut.
Harian Republika, misalnya, pada hari Senin (9 Desember) mengabarkan
hal senada. Mengutip laporan kantor berita Inggris Reuters, Republika
menulis laporan berjudul 'Reuters Kabarkan Presiden Jokowi Tegur
Panglima TNI Gatot Nurmantyo'. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa
Presiden Joko Widodo telah menegur Panglima Militer dalam suatu
pertemuan resmi. Sikap itu diambil menyusul langkah Panglima TNI
Jenderal Gatot Nurmantyo yang secara sepihak menghentikan hubungan
kerja sama keamanan dengan Australia tanpa meminta pendapat presiden
dan para menteri terkait terlebih dahulu.
"Hal itu disampaikan dua sumber yang ikut dalam pertemuan itu seperti
dikutip Reuters dalam tulisannya berjudul Indonesia's president moves
to rein in 'out of control' military chief pada Senin (9/1). Seorang
pejabat senior mengatakan, Jokowi yang berasal dari luar militer
langsung bergerak cepat untuk menunjukkan otoritas tertingginya
sebagai panglima tertinggi. 'Dengan Gatot, rasanya seperti ia sedikit
di luar kontrol,' ujarnya," demikian tulisan Republika.
Menurut laporan tersebut, sejumlah analis dan pembantu dekat Jokowi
mengkhawatirkan gerakan Gatot Nurmantyo yang dianggap sedang
meletakkan basis guna memperluas peran militer dalam urusan sipil.
Mereka juga menilai Gatot memiliki ambisi politik.
Lebih jauh, Republika turut bermain memojokkan Jenderal Gatot dengan
mengutip penulis buku 'The Loner: President Yudhoyono's Decade of
Trial and Indecision', John McBeth, yang menyebut bahwa Jenderal Gatot
Nurmantyo berpaham ultranasionalis dan ambisius untuk ikut dalam
Pilpres 2019.
Hal itu disampaikan John McBeth di salah satu bagian isi tulisan
opininya yang dimuat South China Morning Post, Minggu (8 Januari)
berjudul "How the Australian SAS Raised the Ghosts of Indonesia's
Brutal Past."
Di awal kalimatnya, ia menggambarkan mengenai perselisihan
Jakarta-Canberra terkait dengan pelecehan di satu konten materi
pelatihan yang dianggap sensitif. Perselisihan itu, kata dia, juga
menunjukkan sebagaimana dikutip sumber pemerintahan bahwa Presiden
Jokowi tak tahu jika Jenderal Gatot menghentikan semua kerja sama
militer dengan Australia.
Jendral Gatot memang menunjukkan sikap 'berlawanan' dengan Presiden
Jokowi dan para pembantu dekatnya terkait dengan aksi-aksi demonstrasi
umat Islam beberapa bulan terakhir yang menuntut dihukumnya terdakwa
penista Islam, Ahok. Berbeda dengan Jokowi, Kapolri Tito, Luhut
Binsar, Wiranto dan para menteri terkait lainnya yang cenderung
memandang negatif aksi-aksi demonstrasi tersebut, Jendral Gatot secara
terang-terangan menunjukkan sikap simpatiknya.
Akibat sikap simpatik tersebut, sejak munculnya aksi-aksi demonstrasi
tersebut pada bulan Oktober lalu sudah beredar kabar tentang keinginan
Jokowi untuk memecat Jendral Gatot, meski kemudian dibantah oleh
Jokowi. Namun bantahan tersebut seolah membenarkan adanya desas-desus
di kalangan Istana Negara tentang keinginan Jokowi memecat Jendral
Gatot.
Jokowi tentu harus berfikir sepuluh kali untuk memecat Jendral Gatot.
Hal ini tentu akan menyinggung jajaran TNI yang bisa memicu perlawanan
dari TNI. Di tengah popularitas Jokowi yang tengah redup di mata ummat
Islam karena dianggap melindungi Ahok, koalisi TNI dengan ummat Islam
tentu sangat membahayakan kekuasaan Jokowi. Selain itu, memecat
Jendral Gatot justru akan membuat popularitasnya meroket sebagai
kandidat Presiden 2019 mendatang. Dan pada saat yang sama popularitas
Jokowi semakin jeblok. ( Indonesian Free Press)
Komentar
Posting Komentar