Hampir dua minggu Aksi Damai 411 telah terlewati. Mungkin agak usang, tapi berangkat dari rasa ingin berbagi, maka penulis bergerak untuk menulis opini ini. Sebagai orang yang terjun langsung dalam lautan massa, sedikit banyak penulis merasakan atmosfer yang dirasakan ketika itu mulai dari masjid Istiqlal, bundaran Monas, hingga depan gedung Istana.
Sebelum
hari H (4 November) penulis sudah banyak membaca di medis sosial
(medsos), grup, dan televisi terkait pro kontra yang muncul tentang Aksi
Bela Islam II ini. Bahkan, saudara-saudara saya (satu alumni pondok
pesantren) terjadi perbincangan yang cukup alot. Ada yang berpendapat
bahwa aksi demo ini merupakan aksi tak wajar. Tapi, banyak juga yang
mendukungnya.
Terkait pro kontra di
atas, penulis teringat dengan opini saudara Raden Ridwan Hasan Saputra
dengan judul ‘IMSO dan Aksi Damai 411’ (Republika, 09/11). Dia
menyebutkan bahwa cara berpikir di dunia ini ada dua, berpikir rasional
dan suprarasional. Dan peserta Aksi Damai ini dipengaruhi oleh cara
berpikir suprarasional. Yaitu, berfikir pada sesuatu yang tidak terukur,
terkadang tidak masuk akal, tetapi hasilnya nyata. Para ulama, kiyai
dan elemen masyarakat mengikuti aksi damai dengan ikhlas
datang ke Istiqlal untuk menuntut seseorang yang dianggap penista
al-qur’an. Tujuannya bukan semata-mata materi tetapi nilai-nilai
tertentu yang diyakininya. Dan Aksi Damai 411 ini ternyata punya dampak
tak terduga sebelumnya oleh banyak orang.
Kembali
ke permasalahan awal kondisi demo pada 4 November kemarin. Penulis
merasakan sendiri kumpulan manusia dari segala penjuru Indonesia yang
berpusat di sekitar bundaran Monas dan masjid Istiqlal. Mulai dari
Medan, Aceh, Makassar, dan bahkan yang membuat mata penulis berkaca-kaca
ada utusan dari Madura, yang nota bene adalah tanah kelahiran penulis
sendiri. Kemudian saya bergeming, bagaimana saudara-saudara kita
menjalani perjalanan berhari-hari dengan modal sendiri. Tidak hanya
mengorbankan materi tapi juga harus meninggalkan anak dan istri. Dan ini
yang dimaksud dengan cara berfikir suprarasional yang tak semua orang
bisa merasakan.
Penulis memang hanya
dua kali mengikuti aksi demo. Pertama di Bekasi kala aksi demo pabrik
baja dan kedua Aksi Damai tanggal 4 November ini. Sangat dirasakan aksi
demo kali ini memang benar-benar berbeda, penuh kedamaian. Penulis
mengatakan demikian bukan hanya menerima informasi dari media-media yang
belum valid shahih tidaknya. Tetapi sekali lagi, karena penulis terjun
langsung di lapangan kala itu.
Masih
jelas betul bagaimana para pendemo saling bahu membahu memungut sampah
di jalanan. Ada yang memegang karung dan plastik besar untuk dijadikan
tempat sampah. Ada yang menggenggam sekop dan sapu lidi. Larangan untuk
menginjak tanaman selalu mereka dengungkan demi menghilangkan stigma
negatif yang telah diisukan oleh salah satu channel televisi tak
bermoral.
Shalawat dan takbir
bergemuruh di titik pusat ibu kota. Bahkan, dengan aparat sekali pun
para pendemo tidak ada kesan anarkis. Para polwan (polisi wanita) dengan
senyumannya berbagi air mineral dengan para demonstran yang
foto-fotonya pun ramai di media. Ini mengindikasikan bahwa peserta demo
adalah manusia yang beradab.
Ada suatu
moment yang sungguh menggetarkan hati dan menurut hemat penulis
peristiwa ini tidak banyak yang mengetahuinya, begitu juga media. Ketika
para demonstran berbondong-bondong pergi ke masjid Istiqlal untuk
melaksanakan shalat jumat. Ada pemandangan lain di taman depan gedung
istana.
Ada sekitar seribu pendemo yang
melaksanakan shalat jumat di sana. Para polri pun berbaur untuk
melaksanakan shalat jumat bersama. Salah seorang polri bertugas menjadi
muadzin (yang mengumandangkan adzan). Dan bahkan khotib yang berasal
dari salah satu pendemo menyampaikan khotbah dari atas mobil Barracuda
milik polisi. Sungguh ini merupakan peristiwa langka dan sangat jarang
terjadi sebelumnya. Ini adalah bukti betapa harmonisnya jalinan tali
persaudaraan antar pendemo dan aparat keamanan.
Walaupun
ada sedikit kericuhan pada waktu malam, hal ini bukan karena ulah para
pendemo, akan tetapi ulah provakator yang ingin menodai aksi damai bela
islam 2 ini. Dari foto yang beredar sangat jelas bahwa penyebab
kericuhan buka berasal dari peserta demo. Hal ini terbukti karena para
demonstran kala itu dianjurkan memakai pakaian putih. Sedangkan di foto
tampak bukan dari peserta demonstran.
Tapi, secara umum aksi 411 kemarin adalah aksi damai yang tujuannya satu, yaitu agar memproses gubernur Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
terkait penistaan agama yang dilakukannya pada 28 September lalu di
kepulauan Seribu, bukan untuk bertindak radikal dan anarkis. Setidaknya
aksi bela islam 2 ini telah membuktikan kepada dunia bahwa Islam adalah
agama damai buka agama penuh kekerasan seperti yang telah diprediksikan
oleh orang-orang anti islam. Sungguh bangga, bahagia dan penuh suka cita
menyaksikan semua ini di depan mata.
Namun,
di balik kebahagiaan tersimpan kekecewaan yang sangat mendalam. Telah
menjadi saksi bersama bahwa demo yang berkisar jutaan orang tidak
mendapat perhatian dari bapak Presiden. Presiden lebih sibuk mengontrol
proyek dari pada mendengarkan jeritan hari rakyat. Ibarat menggosokkan
garam di atas luka yang menganga, sikap apatis presiden sudah cukup
menusukkan belati di hati para rakyat yang haus keadilan.
Padahal,
aksi ini hanya meminta keadilan dari pemangku kekuasaan di negeri ini.
Bahwa, siapa pun yang bersalah harus diproses hukum tanpa pandang bulu.
Maka, tak salah jika sikap presiden mendapat respon negatif dari
masyarakat seluruh negeri ini. Orang nomor satu di Indonesia ini
terkesan melindungi Basuki Tjahja Purnama. Ah sudahlah, bukan suatu hal
yang baru penguasa selalu terkesan adigang, adigung, adiguna.
Yang
jelas penulis tidak paham apa yang ada di benak bapak Presiden. Penulis
tidak akan membahas terlalu lebar tentang arah kebijakannya. Biar
masyarakat sendiri yang mengkaji dan menganalisisnya. Yang terpenting
saat ini, karena hanya ulah satu orang, jangan sampai saudara seiman dan
seagama bercerai-berai apalagi bermusuhan. Tugas kita sekarang
bagaimana negeri ini sehat dan aman dari segala makar yang dapat
merusaknya. Mengutip perkataan kiyai Abdullah Gymnastiar dalam acara ILC
(Indonesia Lawyer Club) yang bertema ‘Setelah 411’, sebaiknya kita
fokus pada tiga hal. Pertama, kita harus punya semangat bersaudara.
Kedua, semangat kita semangat solusi. Dan ketiga, semangat sukses
bersama. Wallahu a’lam bisshowab. (dakwatuna)
Komentar
Posting Komentar