Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU) menggelar Kongres ke-XVII di
Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Selasa-Sabtu (23-27/11). Bila
merunut ke belakang, kongres perdana organisasi kaum perempuan NU ini,
baru dihitung mulai tahun 1946. Namun, sebetulnya organisasi ini sudah
bergeliat jauh sebelumnya, bahkan sejak Kongres (Muktamar) NU ke- XIII
di Menes, Banten, 1938 dan berlanjut setahun berikutnya, di Kongres NU
ke-XIV, tepatnya 5 Juli 1939 yang diadakan di Magelang.
Aboebakar Atjeh dalam buku Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim dan
Karangan Tersiar (1957) menuliskan suasana Rapat Umum organisasi yang
dulu masih bernama Nahdlatoel Oelama' bagian Moeslimat (NOM), yang
dilangsungkan pada Rabu, 5 Juli 1939 M / 17 Jumadil Ula 1358 H di
Gedung Kongres NU ke-XIV di Magelang, sebagai berikut:
"Pada jam 2 siang, gedung kongres dan halamannya penuh hadirin.
Sesudah berkumpul, kemudian Rais Akbar HB NU bagian Syuriyah (KH
Hasyim Asy'ari) memberikan nasihatnya tentang taat ibu terhadap bapak
dan perlindungan kaum bapak kepada ibu. Kemudian diterangkannya
kewajiban memberi pendidikan yang baik bagi anak-anak dengan sempurna.
Lalu disambung nasihat dari KH Asnawi Kudus."
Satu jam setelah pidato para kiai tersebut, dimulailah rapat yang
dipimpin Nyonya (Ny) Siti Djuasih Bandung. Rapat dihadiri beberapa
perwakilan dari daerah, yang mayoritas berasal dari Jawa Tengah bagian
Selatan (hal ini mengingat pelaksanaan Kongres di Magelang), antara
lain :
1. NU Muslimat Muntilan, 2. NU Muslimat Sokaraja Banyumas,
3. NU Muslimat Kroya,
4. NU Muslimat Wonosobo,
5. NU Muslimat Surakarta (Solo),
6. NU Muslimat Magelang,
7. Banatul Arabiah Magelang,
8. Zahratul Iman Magelang,
9. Islamiah Purworejo,
10. Aisiyah Purworejo, dan beberapa perwakilan pengurus Muslimat NU Bandung.
Lalu, dimulailah jalannya sidang. Ny Saudah dan Ny Gan Atang dari
Bandung menerangkan kepentingan kaum ibu memasuki pergerakan NUM,
serta buah nyata yang didapat dari organisasi tersebut.
Kemudian disusul pemaparan pandangan Ny Badriah (Wonosobo), Ny Sulimah
(NUM Banyumas), Ny Istiqomah (Parakan), Ny Aiflah (Kroya). Hampir
semua yang berbicara menekankan peran penting ibu dan NUM.
Hal ini juga termaktub dalam buku Verslag Kongres NU XIV hal 5-6
sebagai berikut : "Cita-cita hendak menjadikan kaum ibu kita menjadi
ibu umat Islam di kemudian hari, tidak hanya menjadi cita-cita saja,
sejak satu tahun yang lalu ini, di masing-masing cabang NU Bagian
Muslimat, pokok yang dituju ialah menggalang kaum ibu kita menjadi ibu
yang cakap mendidik dan mengasuh putra-putrinya supaya kelak menjadi
putra dan putri Islam yang sejati, cakap, dan pandai serta brguna pula
bagi umat dan masyarakat Islam."
Pada akhirnya dari sekian pandangan yang disampaikan, muncullah sebuah
usul : Supaya Muslimat di dalam NU dijadikan satu bagian yang dapat
mengatur diri sendiri, artinya mempunyai pengurus, ketua, dan lainnya
agar kaum ibu turut pula mengatur dan mengorganisasi bagiannya, dan
sungguh banyak soal perempuan yang tak dapat diselang oleh kaum
laki-laki.
Sayangnya, suara terbanyak masih banyak yang menentang usul ini, dan
kemudian diserahkan keputusan ini pada HB Bagian Syuriyah. Hal ini
semakin diperberat dengan konstelasi social-politik yang berubah,
ketika Jepang menjajah bangsa Indonesia. Cita-cita mulia kaum wanita
NU ini mesti tertunda! (Ajie Najmuddin dikutip dari Aboebakar Atjeh.
1957. Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar)
[nu.or.id]
Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Selasa-Sabtu (23-27/11). Bila
merunut ke belakang, kongres perdana organisasi kaum perempuan NU ini,
baru dihitung mulai tahun 1946. Namun, sebetulnya organisasi ini sudah
bergeliat jauh sebelumnya, bahkan sejak Kongres (Muktamar) NU ke- XIII
di Menes, Banten, 1938 dan berlanjut setahun berikutnya, di Kongres NU
ke-XIV, tepatnya 5 Juli 1939 yang diadakan di Magelang.
Aboebakar Atjeh dalam buku Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim dan
Karangan Tersiar (1957) menuliskan suasana Rapat Umum organisasi yang
dulu masih bernama Nahdlatoel Oelama' bagian Moeslimat (NOM), yang
dilangsungkan pada Rabu, 5 Juli 1939 M / 17 Jumadil Ula 1358 H di
Gedung Kongres NU ke-XIV di Magelang, sebagai berikut:
"Pada jam 2 siang, gedung kongres dan halamannya penuh hadirin.
Sesudah berkumpul, kemudian Rais Akbar HB NU bagian Syuriyah (KH
Hasyim Asy'ari) memberikan nasihatnya tentang taat ibu terhadap bapak
dan perlindungan kaum bapak kepada ibu. Kemudian diterangkannya
kewajiban memberi pendidikan yang baik bagi anak-anak dengan sempurna.
Lalu disambung nasihat dari KH Asnawi Kudus."
Satu jam setelah pidato para kiai tersebut, dimulailah rapat yang
dipimpin Nyonya (Ny) Siti Djuasih Bandung. Rapat dihadiri beberapa
perwakilan dari daerah, yang mayoritas berasal dari Jawa Tengah bagian
Selatan (hal ini mengingat pelaksanaan Kongres di Magelang), antara
lain :
1. NU Muslimat Muntilan, 2. NU Muslimat Sokaraja Banyumas,
3. NU Muslimat Kroya,
4. NU Muslimat Wonosobo,
5. NU Muslimat Surakarta (Solo),
6. NU Muslimat Magelang,
7. Banatul Arabiah Magelang,
8. Zahratul Iman Magelang,
9. Islamiah Purworejo,
10. Aisiyah Purworejo, dan beberapa perwakilan pengurus Muslimat NU Bandung.
Lalu, dimulailah jalannya sidang. Ny Saudah dan Ny Gan Atang dari
Bandung menerangkan kepentingan kaum ibu memasuki pergerakan NUM,
serta buah nyata yang didapat dari organisasi tersebut.
Kemudian disusul pemaparan pandangan Ny Badriah (Wonosobo), Ny Sulimah
(NUM Banyumas), Ny Istiqomah (Parakan), Ny Aiflah (Kroya). Hampir
semua yang berbicara menekankan peran penting ibu dan NUM.
Hal ini juga termaktub dalam buku Verslag Kongres NU XIV hal 5-6
sebagai berikut : "Cita-cita hendak menjadikan kaum ibu kita menjadi
ibu umat Islam di kemudian hari, tidak hanya menjadi cita-cita saja,
sejak satu tahun yang lalu ini, di masing-masing cabang NU Bagian
Muslimat, pokok yang dituju ialah menggalang kaum ibu kita menjadi ibu
yang cakap mendidik dan mengasuh putra-putrinya supaya kelak menjadi
putra dan putri Islam yang sejati, cakap, dan pandai serta brguna pula
bagi umat dan masyarakat Islam."
Pada akhirnya dari sekian pandangan yang disampaikan, muncullah sebuah
usul : Supaya Muslimat di dalam NU dijadikan satu bagian yang dapat
mengatur diri sendiri, artinya mempunyai pengurus, ketua, dan lainnya
agar kaum ibu turut pula mengatur dan mengorganisasi bagiannya, dan
sungguh banyak soal perempuan yang tak dapat diselang oleh kaum
laki-laki.
Sayangnya, suara terbanyak masih banyak yang menentang usul ini, dan
kemudian diserahkan keputusan ini pada HB Bagian Syuriyah. Hal ini
semakin diperberat dengan konstelasi social-politik yang berubah,
ketika Jepang menjajah bangsa Indonesia. Cita-cita mulia kaum wanita
NU ini mesti tertunda! (Ajie Najmuddin dikutip dari Aboebakar Atjeh.
1957. Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar)
[nu.or.id]
Komentar
Posting Komentar