Perihal hukum mendengarkan lagu, musik, nyanyian, dan bunyi-bunyian
ini menjadi perbincangan hangat di kalangan ulama. Ulama berbeda
pendapat perihal mendengarkan lagu, musik, nyanyian, dan
bunyi-bunyian. Sebagian ulama mengharamkannya. Tetapi sebagian lagi
membolehkannya.
Untuk masalah ini Imam Al-Ghazali mengangkat pandangan ulama yang
mengharamkannya dan ulama yang membolehkannya. Namun demikian dalam
Ihya Ulumiddin Imam Al-Ghazali secara detil menanggapi dalil dan
argumentasi yang dikemukakan oleh para ulama yang mengaharamkannya.
Pada tulisan ini kami mencoba mengangkat ringkasan ulasan Imam
Al-Ghazali perihal masalah ini. Dalam ringkasan ulasannya, Imam
Al-Ghazali cenderung memperbolehkan mendengarkan musik, lagu, dan
nyanyi-nyanyian. Berikut ini kutipannya.
اعلم أن قول القائل السماع حرام معناه أن الله تعالى يعاقب عليه وهذا أمر
لا يعرف بمجرد العقل بل بالسمع ومعرفة الشرعيات محصورة في النص أو القياس
على المنصوص وأعنى بالنص ما أظهره صلى الله عليه و سلم بقوله أو فعله
وبالقياس المعنى المفهوم من ألفاظه وأفعاله فإن لم يكن فيه نص ولم يستقم
فيه قياس على منصوص بطل القول بتحريمه وبقى فعلا لا حرج فيه كسائر
المباحات ولا يدل على تحريم السماع نص ولا قياس ويتضح ذلك في جوابنا عن
أدلة المائلين إلى التحريم ومهما تم الجواب عن أدلتهم كان ذلك مسلكا
كافيا في إثبات هذا الغرض لكن نستفتح ونقول قد دل النص والقياس جميعا على
إباحته أما القياس فهو أن الغناء اجتمعت فيه معان ينبغي أن يبحث عن
افرادها ثم عن مجموعها فإن فيه سماع صوت طيب موزون مفهوم المعنى محرك
للقلب فالوصف الاعم انه صوت طيب ثم الطيب ينقسم إلى الموزون وغيره
والموزون ينقسم إلى المفهوم كالاشعار والى غير المفهوم كأصوات الجمادات
وسائر الحيوانات أما سماع الصوت الطيب من حيث إنه طيب فلا ينبغي أن يحرم
بل هو حلال بالنص والقياس
Artinya, "Ketahuilah, pendapat yang mengatakan, 'Aktivitas mendengar
(nyanyian, bunyi, atau musik) itu haram' mesti dipahami bahwa Allah
akan menyiksa seseorang atas aktivitas tersebut.' Hukum seperti ini
tidak bisa diketahui hanya berdasarkan aqli semata, tetapi harus
berdasarkan naqli. Jalan mengetahui hukum-hukum syara' (agama),
terbatas pada nash dan qiyas terhadap nash. Yang saya maksud dengan
'nash' adalah apa yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui ucapan
dan perbuatannya. Sementara yang saya maksud dengan 'qiyas' adalah
pengertian secara analogis yang dipahami dari ucapan dan perbuatan
Rasulullah itu sendiri. Jika tidak ada satu pun nash dan argumentasi
qiyas terhadap nash pada masalah mendengarkan nyanyian atau musik ini,
maka batal pendapat yang mengaharamkannya. Artinya, mendengarkan
nyanyian atau musik itu tetap sebagai aktivitas yang tidak bernilai
dosa, sama halnya dengan aktivitas mubah yang lain. Sementara (pada
amatan kami) tidak ada satupun nash dan argumentasi qiyas yang
menunjukkan keharaman aktivitas ini. Hal ini tampak jelas pada
tanggapan kami terhadap dalil-dalil yang dikemukakan oleh mereka yang
cenderung mengharamkannya. Ketika tanggapan kami terhadap dalil mereka
demikian lengkap, maka itu sudah memadai sebagai metode yang tuntas
dalam menetapkan tujuan ini. Hanya saja kami mulai membuka dan
mengatakan bahwa nash dan argumentasi qiyas menunjukkan kemubahan
aktivitas mendengarkan nyanyian atau musik. Argumentasi qiyas
menyatakan bahwa kata 'bunyi' itu mengandung sejumlah pengertian yang
perlu dikaji baik secara terpisah maupun keseluruhan. Kata ini
mengandung pengertian sebuah aktivitas mendengarkan suara yang indah,
berirama, terpahami maknanya, dan menyentuh perasaan. Secara lebih
umum 'bunyi' adalah suara yang indah. Bunyi yang indah ini terbagi
atas yang berirama (terpola) dan yang tidak berirama. Bunyian yang
berirama terbagi atas suara yang dipahami seperti syair-syair dan
suara yang tidak terpahami seperti suara-suara tertentu. Sedangkan
mendengarkan suara yang indah ditinjau dari keindahannya tidak lantas
menjadi haram. Bahkan bunyi yang dihasilkan dari gerakan benda-benda
mati dan suara hewan itu halal berdasarkan nash dan argumentasi
qiyas," (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali,Ihya Ulumiddin, Mesir, Musthafa
Al-Babi Al-Halabi, tahun 1358 H/1939 H, Juz 2, Halaman 268).
Berangkat dari apa yang kemukakan di atas, Imam Al-Ghazali tidak
menemukan satupun nash yang secara jelas mengharamkannya. Kalau pun
ada nash yang mengharamkan musik dan nyanyian, keharamannya itu bukan
didasarkan pada musik dan nyanyian itu sendiri, tetapi karena
dibarengi dengan kemaksiatan seperti minum-minuman keras, perzinaan,
perjudian, ataupun melalaikan kewajiban.
Adapun aktivitas mendengarkan musik atau nyanyian itu sendiri, menurut
Imam Al-Ghazali seperti disebutkan di atas, halal. Jadi Imam
Al-Ghazali memisahkan secara jelas antara musik beserta nyanyian itu
dan kemaksiatan yang diharamkan secara tegas di dalam nash maupun
qiyas terhadap nash. [Alhafiz Kurniawan, nu.or.id]
ini menjadi perbincangan hangat di kalangan ulama. Ulama berbeda
pendapat perihal mendengarkan lagu, musik, nyanyian, dan
bunyi-bunyian. Sebagian ulama mengharamkannya. Tetapi sebagian lagi
membolehkannya.
Untuk masalah ini Imam Al-Ghazali mengangkat pandangan ulama yang
mengharamkannya dan ulama yang membolehkannya. Namun demikian dalam
Ihya Ulumiddin Imam Al-Ghazali secara detil menanggapi dalil dan
argumentasi yang dikemukakan oleh para ulama yang mengaharamkannya.
Pada tulisan ini kami mencoba mengangkat ringkasan ulasan Imam
Al-Ghazali perihal masalah ini. Dalam ringkasan ulasannya, Imam
Al-Ghazali cenderung memperbolehkan mendengarkan musik, lagu, dan
nyanyi-nyanyian. Berikut ini kutipannya.
اعلم أن قول القائل السماع حرام معناه أن الله تعالى يعاقب عليه وهذا أمر
لا يعرف بمجرد العقل بل بالسمع ومعرفة الشرعيات محصورة في النص أو القياس
على المنصوص وأعنى بالنص ما أظهره صلى الله عليه و سلم بقوله أو فعله
وبالقياس المعنى المفهوم من ألفاظه وأفعاله فإن لم يكن فيه نص ولم يستقم
فيه قياس على منصوص بطل القول بتحريمه وبقى فعلا لا حرج فيه كسائر
المباحات ولا يدل على تحريم السماع نص ولا قياس ويتضح ذلك في جوابنا عن
أدلة المائلين إلى التحريم ومهما تم الجواب عن أدلتهم كان ذلك مسلكا
كافيا في إثبات هذا الغرض لكن نستفتح ونقول قد دل النص والقياس جميعا على
إباحته أما القياس فهو أن الغناء اجتمعت فيه معان ينبغي أن يبحث عن
افرادها ثم عن مجموعها فإن فيه سماع صوت طيب موزون مفهوم المعنى محرك
للقلب فالوصف الاعم انه صوت طيب ثم الطيب ينقسم إلى الموزون وغيره
والموزون ينقسم إلى المفهوم كالاشعار والى غير المفهوم كأصوات الجمادات
وسائر الحيوانات أما سماع الصوت الطيب من حيث إنه طيب فلا ينبغي أن يحرم
بل هو حلال بالنص والقياس
Artinya, "Ketahuilah, pendapat yang mengatakan, 'Aktivitas mendengar
(nyanyian, bunyi, atau musik) itu haram' mesti dipahami bahwa Allah
akan menyiksa seseorang atas aktivitas tersebut.' Hukum seperti ini
tidak bisa diketahui hanya berdasarkan aqli semata, tetapi harus
berdasarkan naqli. Jalan mengetahui hukum-hukum syara' (agama),
terbatas pada nash dan qiyas terhadap nash. Yang saya maksud dengan
'nash' adalah apa yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui ucapan
dan perbuatannya. Sementara yang saya maksud dengan 'qiyas' adalah
pengertian secara analogis yang dipahami dari ucapan dan perbuatan
Rasulullah itu sendiri. Jika tidak ada satu pun nash dan argumentasi
qiyas terhadap nash pada masalah mendengarkan nyanyian atau musik ini,
maka batal pendapat yang mengaharamkannya. Artinya, mendengarkan
nyanyian atau musik itu tetap sebagai aktivitas yang tidak bernilai
dosa, sama halnya dengan aktivitas mubah yang lain. Sementara (pada
amatan kami) tidak ada satupun nash dan argumentasi qiyas yang
menunjukkan keharaman aktivitas ini. Hal ini tampak jelas pada
tanggapan kami terhadap dalil-dalil yang dikemukakan oleh mereka yang
cenderung mengharamkannya. Ketika tanggapan kami terhadap dalil mereka
demikian lengkap, maka itu sudah memadai sebagai metode yang tuntas
dalam menetapkan tujuan ini. Hanya saja kami mulai membuka dan
mengatakan bahwa nash dan argumentasi qiyas menunjukkan kemubahan
aktivitas mendengarkan nyanyian atau musik. Argumentasi qiyas
menyatakan bahwa kata 'bunyi' itu mengandung sejumlah pengertian yang
perlu dikaji baik secara terpisah maupun keseluruhan. Kata ini
mengandung pengertian sebuah aktivitas mendengarkan suara yang indah,
berirama, terpahami maknanya, dan menyentuh perasaan. Secara lebih
umum 'bunyi' adalah suara yang indah. Bunyi yang indah ini terbagi
atas yang berirama (terpola) dan yang tidak berirama. Bunyian yang
berirama terbagi atas suara yang dipahami seperti syair-syair dan
suara yang tidak terpahami seperti suara-suara tertentu. Sedangkan
mendengarkan suara yang indah ditinjau dari keindahannya tidak lantas
menjadi haram. Bahkan bunyi yang dihasilkan dari gerakan benda-benda
mati dan suara hewan itu halal berdasarkan nash dan argumentasi
qiyas," (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali,Ihya Ulumiddin, Mesir, Musthafa
Al-Babi Al-Halabi, tahun 1358 H/1939 H, Juz 2, Halaman 268).
Berangkat dari apa yang kemukakan di atas, Imam Al-Ghazali tidak
menemukan satupun nash yang secara jelas mengharamkannya. Kalau pun
ada nash yang mengharamkan musik dan nyanyian, keharamannya itu bukan
didasarkan pada musik dan nyanyian itu sendiri, tetapi karena
dibarengi dengan kemaksiatan seperti minum-minuman keras, perzinaan,
perjudian, ataupun melalaikan kewajiban.
Adapun aktivitas mendengarkan musik atau nyanyian itu sendiri, menurut
Imam Al-Ghazali seperti disebutkan di atas, halal. Jadi Imam
Al-Ghazali memisahkan secara jelas antara musik beserta nyanyian itu
dan kemaksiatan yang diharamkan secara tegas di dalam nash maupun
qiyas terhadap nash. [Alhafiz Kurniawan, nu.or.id]
Komentar
Posting Komentar