Kalau diperhatikan dari tahun ke tahun, persentase jemaah haji terus
mengalami peningkatan. Dibandingkan puluhan tahun lalu, jemaah haji di
masa sekarang lebih banyak. Banyaknya orang berhaji di masa sekarang
tentu tidak terlepas dari mudahnya mendapatkan fasilitas haji.
Sekarang sudah banyak travel haji dan transportasi yang siap melayani
keberangkatan haji. Apalagi sebagian travel menawarkan ongkos yang
menggiurkan dan tidak terlalu mahal, bisa diangsur.
Mudahnya naik haji di masa sekarang ini patut kita syukuri. Kita tidak
perlu lagi melakukan perjalanan berbulan-bulan untuk sampai di
Baitullah. Cukup duduk santai di pesawat, tunggu sekitar belasan jam,
kita sudah sampai di Arab Saudi.
Namun, di balik kemudahan fasilitas itu ada sesuatu yang justru
mengkhawatirkan menurut sebagian ulama, yaitu fenomena haji berulang
kali.
Almarhum KH Ali Mustafa Yaqub termasuk orang yang berada di garda
depan mengkritik fenomena haji berkali-kali ini. Menurutnya, lebih
baik mendermakan ongkos haji itu untuk menyejahterakan kaum dhu'afa.
"Af'alul muta'addi afdhalu minal qashir (ibadah sosial lebih baik dari
pada ibadah individual)". Itulah kalimat yang sering beliau sampaikan.
Kemunculan pendapat ini berkaitan dengan masih banyaknya problem
kemiskinan dan kefakiran yang belum tuntas di negeri ini. Sehingga
alangkah baiknya harta yang banyak itu digunakan untuk menyelesaikan
problem ini, dari pada beribadah haji berkali-kali. Terlebih lagi,
haji kedua dan seterusnya hukumnya sunah, tidak wajib.
Kritik yang dilontarkan almarhum Kiai Ali ini sebenarnya sudah
ditegaskan Imam Al-Ghazali sedari dulu. Dalam kitab Ihya Ulumuddin
jilid tiga, ia menjelaskan panjang lebar terkait tipu daya. Siapa saja
bisa terpedaya baik orang berilmu, sufi, maupun pemilik harta. Khusus
bagi orang berharta (arbabul mal), di antara bentuk tipu dayanya
adalah sebagai berikut:
وربما يحرصون على إنفاق المال في الحج فيحجوت مرة بعد أخرى وربما تركوا
جيرانهم جياعا ولذلك قال ابن مسعود في آخر الزمان يكثر الحاج بلا سبب
يهون عليهم السفر ويبسط لهم في الرزق ويرجعون محرومين مسلوبين يهوي
بأحدهم بعيره بين الرمال والقفار وجاره مأسور إلى جنبه لا يواسيهِ
Artinya, "Mereka bersikeras mengeluarkan harta untuk pergi haji
berulang kali dan membiarkan tetangganya kelaparan. Ibnu Mas'ud
berkata, 'Pada akhir zaman, banyak orang naik haji tanpa sebab. Mudah
bagi mereka melakukan perjalanan, rezeki mereka dilancarkan, tapi
mereka pulang tidak membawa pahala dan ganjaran. Salah seorang mereka
melanglang dengan kendaraannya melintasi sahara, sementara tetangganya
tertawan di hadapannya tidak dihiraukannya."
Mereka menyangka dengan menghabiskan harta untuk naik haji berulang
kali itu dianggap lebih mulia di sisi Allah, ketimbang mendermakan
harta untuk fakir miskin. Inilah salah satu bentuk tipu daya bagi
orang berharta menurut Al-Ghazali. Lebih baik kelebihan harta yang
dimiliki diprioritaskan untuk membantu fakir miskin, pesantren yang
terbengkalai, anak sekolah yang serba kekurangan, dan amal sosial
lainnya.
Karenanya, kita perlu membuat skala prioritas dalam beribadah. Ketika
dihadapkan dengan banyak peluang beribadah, pilihlah ibadah yang lebih
banyak maslahatnya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Sebagaimana dikatakan 'Izzuddin bin 'Abdul Salam dalam Qawaidul Ahkam
fi Mashalihil Anam, "Apabila dihadapkan dua kemaslahatan dalam satu
waktu, usahakan melakukan keduanya. Bila tidak mungkin, dahulukanlah
mana yang paling maslahat dan utama,"
Wallahu 'alam. (Hengki Ferdiansyah - nu.or.id)
mengalami peningkatan. Dibandingkan puluhan tahun lalu, jemaah haji di
masa sekarang lebih banyak. Banyaknya orang berhaji di masa sekarang
tentu tidak terlepas dari mudahnya mendapatkan fasilitas haji.
Sekarang sudah banyak travel haji dan transportasi yang siap melayani
keberangkatan haji. Apalagi sebagian travel menawarkan ongkos yang
menggiurkan dan tidak terlalu mahal, bisa diangsur.
Mudahnya naik haji di masa sekarang ini patut kita syukuri. Kita tidak
perlu lagi melakukan perjalanan berbulan-bulan untuk sampai di
Baitullah. Cukup duduk santai di pesawat, tunggu sekitar belasan jam,
kita sudah sampai di Arab Saudi.
Namun, di balik kemudahan fasilitas itu ada sesuatu yang justru
mengkhawatirkan menurut sebagian ulama, yaitu fenomena haji berulang
kali.
Almarhum KH Ali Mustafa Yaqub termasuk orang yang berada di garda
depan mengkritik fenomena haji berkali-kali ini. Menurutnya, lebih
baik mendermakan ongkos haji itu untuk menyejahterakan kaum dhu'afa.
"Af'alul muta'addi afdhalu minal qashir (ibadah sosial lebih baik dari
pada ibadah individual)". Itulah kalimat yang sering beliau sampaikan.
Kemunculan pendapat ini berkaitan dengan masih banyaknya problem
kemiskinan dan kefakiran yang belum tuntas di negeri ini. Sehingga
alangkah baiknya harta yang banyak itu digunakan untuk menyelesaikan
problem ini, dari pada beribadah haji berkali-kali. Terlebih lagi,
haji kedua dan seterusnya hukumnya sunah, tidak wajib.
Kritik yang dilontarkan almarhum Kiai Ali ini sebenarnya sudah
ditegaskan Imam Al-Ghazali sedari dulu. Dalam kitab Ihya Ulumuddin
jilid tiga, ia menjelaskan panjang lebar terkait tipu daya. Siapa saja
bisa terpedaya baik orang berilmu, sufi, maupun pemilik harta. Khusus
bagi orang berharta (arbabul mal), di antara bentuk tipu dayanya
adalah sebagai berikut:
وربما يحرصون على إنفاق المال في الحج فيحجوت مرة بعد أخرى وربما تركوا
جيرانهم جياعا ولذلك قال ابن مسعود في آخر الزمان يكثر الحاج بلا سبب
يهون عليهم السفر ويبسط لهم في الرزق ويرجعون محرومين مسلوبين يهوي
بأحدهم بعيره بين الرمال والقفار وجاره مأسور إلى جنبه لا يواسيهِ
Artinya, "Mereka bersikeras mengeluarkan harta untuk pergi haji
berulang kali dan membiarkan tetangganya kelaparan. Ibnu Mas'ud
berkata, 'Pada akhir zaman, banyak orang naik haji tanpa sebab. Mudah
bagi mereka melakukan perjalanan, rezeki mereka dilancarkan, tapi
mereka pulang tidak membawa pahala dan ganjaran. Salah seorang mereka
melanglang dengan kendaraannya melintasi sahara, sementara tetangganya
tertawan di hadapannya tidak dihiraukannya."
Mereka menyangka dengan menghabiskan harta untuk naik haji berulang
kali itu dianggap lebih mulia di sisi Allah, ketimbang mendermakan
harta untuk fakir miskin. Inilah salah satu bentuk tipu daya bagi
orang berharta menurut Al-Ghazali. Lebih baik kelebihan harta yang
dimiliki diprioritaskan untuk membantu fakir miskin, pesantren yang
terbengkalai, anak sekolah yang serba kekurangan, dan amal sosial
lainnya.
Karenanya, kita perlu membuat skala prioritas dalam beribadah. Ketika
dihadapkan dengan banyak peluang beribadah, pilihlah ibadah yang lebih
banyak maslahatnya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Sebagaimana dikatakan 'Izzuddin bin 'Abdul Salam dalam Qawaidul Ahkam
fi Mashalihil Anam, "Apabila dihadapkan dua kemaslahatan dalam satu
waktu, usahakan melakukan keduanya. Bila tidak mungkin, dahulukanlah
mana yang paling maslahat dan utama,"
Wallahu 'alam. (Hengki Ferdiansyah - nu.or.id)
bagus sekali artikelnya.
BalasHapusKalau Umroh berulang kali apa hukumnya, sedangkan belum pernah menunaikan ibadah Haji
https://konsultasisyariah.com/10745-umrah-berkali-kali.YU
Hapus