Sebuah status Fb milik seorang Ahoker non-Muslim menjadi viral dimedsos. Dalam status tersebut, Ahoker wanita ini dengan jujurm engungkapkan kebenciannya pada orang-orang Muslim yang menjadi pendukung Ahok namun tetap mempertahankan baju Islam-nya.
Menurutnya hal itu merupakan bentuk kemunafikan dan pengkhianatan.
Salah satu 'halusinasi' para penganut Islam liberal adalah bahwa sikap mereka mendukung kelompok-kelompok minoritas non-Islam telah membuat mereka dicintai orang-orang non-Islam. Saking kuatnya 'halusinasi' tersebut hingga mereka dengan terang-terangan telah menselisihi Al
Qur'an yang telah mengingatkan bahwa orang-orang non-Islam tidak
pernah senang dan ridho kepada mereka hingga mereka meninggalkan
Islam.
'Halusinasi' serupa telah menjangkiti mereka, orang-orang Islam yang
telah menjadi pendukung Ahok. Seperti Buya Syafi'i Ma'arif yang telah
menulis opini di Republika berjudul Antara Buih dan Air. Mereka menyangka telah melangkah di jalan Tuhan, sementara sebenarnya mereka telah melangkah di jalan Iblis. Sebagaimana Iblis yang juga
berhalusinasi sebagai mahluk paling mulia. Padahal Tuhan telah menetapkan manusialah yang paling mulia di antara semua mahlukNya.
Buya Syafi'i Ma'arif memang masih cukup sopan dengan tidak mengklaim
pendapatnya tentang perumpamaan air dan buih dalam tulisannya di Republika beberapa waktu lalu sebagai pihak yang membela Ahok dan yang menolak Ahok. Namun, tentu saja secara tersirat, dan itu adalah esensinya, ia telah mengklaim bahwa dirinya dan para pembela Ahok
sebagai air dan para penentang Ahok sebagai buih. Lihat saja tulisannya: "Teologi semacam ini muncul ke permukaan pada saat orang merasa berada dalam posisi tak berdaya. Karena tidak berdaya, akhirnya
menjadi kalap dalam suasana mental yang sangat labil dan memilukan. Sebagian dunia Muslim sedang berkubang dalam suasana mentalitas kalah ini. Buih disangka air."
Dari tulisan itu tampak jelas bahwa Buya Syafi'i Ma'arif menganggap ummat Islam sebagai ummat yang tidak berdaya dan sebagai konsekuensinya segala pemahaman mereka tentang segala hal serba salah. Termasuk pemahaman tentang kasus penistaan Al Qur'an oleh Ahok. Ini
berangkat dari mental beliau yang masih mengidap sindrom 'inferior complex', yaitu orang-orang yang berasal dari kalangan marginal yang tiba-tiba masuk ke lingkaran kekuasaan. Dalam budaya Jawa disebut dengan istilah 'kere munggah bale'. Orang-orang yang mengidap penyakit ini akan melihat masa lalunya, lingkungan asalnya beserta semua isinya, termasuk manusianya, adalah dalam keterbelakangan dank kebodohan. Di sisi lain ia melihat lingkungan barunya sebagai
kemajuan.
Seperti sudah pernah ditulis oleh politisi Golkar Indra Piliang, Buya Syafi'i Ma'arif berasal dari sebuah dusun terpencil di Sumatera Barat yang bahkan belum memiliki aliran listrik. Namun kemudian ia berhasil memasuki lingkungan baru yang jauh lebih maju, kuliah di kota besar hingga mancanegara, kemudian menjadi tokoh masyarakat yang dihormati. Sayangnya, banyak orang yang tidak siap mental menerima kemajuan yang serba cepat seperti ini. Mereka menjadi sombong karenanya. Mungkin saja Buya Syafi'i Ma'arif bukan orang yang matre dan korup seperti pengakuan Indra Piliang, tapi yang pasti ia sangat menikmati kemasyuran dan penghormatan yang diterimanya, sehingga terbuai dan terus berhalusinasi. Lihatlah, bagaimana ia menyambut kedatangan Jokowi ke rumahnya pada masa kampanye pilpres 2014 lalu. Meski iatt tidak mengetahui pasti masa lalu Jokowi dan yang pasti Jokowi bukanlah seorang tokoh di bidang tertentu kecuali orang yang beruntung bisa mendapat tiket sebagai calon presiden, namun Buya Syafi'i Ma'arif
menyambutnya bak seorang anak kandung yang sangat disayanginya. Buya Syafi'i Ma'arif menghormati Jokowi bukan karena prestasinya karena memang Jokowi belum berprestasi, atau karena ketinggian ilmunya, melainkan karena menganggap Jokowi adalah sesama anggota klub eksklusif.
Hal yang sama, di mata Buya Syafi'i Ma'arif, berlaku bagi Ahok. Tidak peduli bahwa Ahok adalah manusia yang akhlaknya buruk, yang penting ia adalah sesama anggota klub. Kalau saja Syafi'i Ma'arif mau berintrospeksi, merendahkan dirinya di hadapan Tuhan dan menyadarkan diri dari halusinasinya. Ia akan melihatdengan jelas siapa manusia yang dibelanya mati-matian dan para pendukung lainnya.Ia akan bertanya, mengapa ia bersama orang-orang
'kafir' yang sebagaimana disebut dalal Al Quran amal-amalnya sia-sia seperti buih di laut, penggiat LGBT, manusia berakhlak rendah yang kencing sembarangan usai mengikuti aksi PKI 4-12, koruptor, dan manusia-manusia tamak yang merampas sebagian besar kekayaan negara dan hanya menyisakan sedikit untuk yang lainnya. Di sisi lainnya, ia akan melihat orang-orang yang dibencinya adalaho orang-orang yang lemah-lembut, sayang-menyayangi sesamanya, yang bercucuran air matanya ketika disebutkan nama Allah, yang rela mengorbankan harta dan tenaganya untuk membantu peserta aksi 212 dan menangis setelah mengetahui harta dan tenaga yang dikeluarkannya masih kurang banyak. Ia juga akan melihat di antara yang dibencinya itu adalah anak kecil yang melakukan long-march dari Ciamis ke Jakarta dalam keadaan basah kuyup dan bertelanjang kaki karena sendal jepitnya
putus beberapa kilometer sebelumnya. Ketika ia ditanya mengapa mau melakukan hal itu, ia pun menjawab bahwa apa yang dilakukannya adalah amal yang diperuntukkan bagi almarhum ayahnya.
Saya tidak yakin bahwa Sapi Marif akan bisa menangis mendengar kisah para peserta aksi 212 seperti saya menangis saat menulis artikel ini. Dan saya akan dengan bangga bersaksi di hadapan Rabb kelak bahwa apaym yang dilakukan peserta aksi 212 dan anak kecil dari Ciamis itu adalah 'air', dan apa yang dilakukan Sapi Marif dan para Jokower-Ahoker adalah 'buih'.(ca)
Komentar
Posting Komentar