Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua
dalil atau lebih (thariqatul-jam'i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang. Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah
terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu,
belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengerti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang. Waduh, minum dimana mabok dimana nih orang.
Mereka mengaku salafi, tapi taklid kepada ulama dengan sistem tebang
pilih, Dan dalam kenyatanyaannya, sebenarnya yang mereka lakukan pada
hakikatnya hanyalah sekedar bertaklid buta kepada tokoh yang mereka
anggap sebagai ulama. Namun sayangnya, ketika mereka bilang ikut para ulama, ternyata dengan cara tebang pilih. Kalau ada ulama yang sekiranya punya pendapat cocok dengan selera mereka, maka pendapatnya itu diikuti bagaikan wahyu yang turun dari langit, sambil mencaci maki semua ulama yang lain. Ulama yang pandangannya agak berbeda dengan pendapat mereka, maka
tanpa ampun lagi ulama itupun dicaci maki, bahkan dikatakan bodoh, tidak mengerti agama, bahlul dan kadang dianggap keluar dari agama. Padahal ulama yang mereka caci maki itu justru hidupnya di masa salaf, masa yang mereka bangga-banggakan sebagai masa yang paling suci dan murni. La haula wala quwwata illa billah.
Jadi mereka sih memang ikut pendapat ulama, tetapi hanya terbatas pada
ulama yang pendapatnya sesuai dengan selera mereka sendiri saja. Kalau
pendapat seorang ulama ternyata tidak sesuai dengan selera, pendapat ulama itu pun dibuang jauh-jauh. Lucunya, seringkali dalam beberapa pendapat, si ulama yang ditaklidi ini ternyata punya pendapat yang tidak sesuai dengan selera mereka, maka tulisan para ulama ini pun disembunyikan. Kalau perlu, mereka bisa cetak kitabnya, tetapi materi
yang sekiranya kurang sesuai dengan selera mereka pun bisa dihapus. Maka kita menemukan begitu banyak kitab para ulama dicetak dan beredar, tetapi isinya sudah diputar-balik sedemikian rupa, sehingga seolah-olah penulisnya itu 100% cocok dengan selera mereka. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah kitmanul-haq, atau setidaknya sebuah
pengkhianatan. Dalam istilah ilmu hadits, namanya tadlis.
Fakta di lapangan yang sering kita temukan, ternyata pendapat para
tokoh yang mengaku salafi ini tidak selamanya sejalan, banyak sekali
perbedaan pendapat yang pecah di tengah mereka. Padahal semuanya
adalah icon dan tokoh salafi Jadi meski sudah sama-sama berpaham salafi tetapi ternyata mereka pun berbeda pendapat juga. Lucunya, sesama mereka pun banyak saling hujat, saling caci dan saling memaki. Murid-murid yang kemarin sore baru belajar pun ketularan penyakit yang sama. Tidak tahu urusan, yang penting kasih komen dimana-mana, sambil menghina, mencaci, menghujat.
Kasihan juga murid-muridnya, sudah terlanjur disuruh membenci segala
yang bukan berbau salaf, ternyata sesama orang yang mengaku salaf
sendiri pun tidak akur juga. Lucunya, kalau fakta ini diajukan kepada mereka, jawab mereka bahwa kita harus menerima kalau para ulama berbeda pendapat. Tetapi kalau yang berbeda pendapat ulama di luar wilayah mereka, tetap saja mereka perangi.
Semoga Allah SWT menurunkan rahmat, hidayah serta ilmu-Nya yang
diberkahi kepada kita semua, agar tidak mudah mencaci maki orang, khususnya para ulama dan ilmu-ilmu yang telah mereka wariskan kepada kita. Dan semoga kita bisa menjadi murid-murid yang santun, shalih, beradab, berakhlaq mulia, serta tidak merasa paling pintar sendirian.
(Ahmad Sarwat,Lc,.MA)
bias
BalasHapus