Jenis kelima adalah ayat haqiqi dan majazi.
Haqiqia dalah ayat di dalam Al-Qur'an dengan lafal tersurat dan tidak
menunjuk makna lain. Sementara majazi adalah ayat yang tidak bisa
dipahami langsung tanpa ta'wil karena bersifat kiasan.
Contoh ayat majazi: "Wa huwa ma'akum ainamâ kuntum" (QS. Al-Hadid/57: 4):
"Dan dia menyertaimu di mana pun kamu berada."
Ayat lain,
"Wa nahnu aqrabu ilayhi min hablil warid" (QS. Qaf/50: 16):
"Dan Kami lebih dekat kepadanya ketimbang urat lehernya."
Ayat lain, "wa ja'a rabbuka wal malaku shaffan shaffan" (QS. Al-Fajr/89: 22):
"Dan datanglah Tuhanmu dan malaikat berbaris-baris."
Sifat Allah dan kedekatannya kepada manusia tidak bisa dipahami secara
harfiah, tetapi harus di-ta'wil.
Ada juga jenis ayat manthuq dan mafhum.
Manthuq adalah ayat yang maknanya tersurat di dalam dhahir lafal,
sementara mafhum maknanya tersirat di luar lafal.
Mafhum terbagi 2 (dua), muwafaqah (maknanya sejalan) dan mukhalafah
(maknanya sebaliknya).
Mafhum muwafaqah terbagi 2 (dua), fahwal khithab dan lahnal khitab.
Contoh mafhum muwafaqah fahwal khithab, "Fala taqul lahumâ uffin" (QS.
Al-Isra'/17: 23):
"Jangan kamu berkata "hus" kepada keduanya." Mafhumnya, tidak boleh
memukul, menendang, dan perbuatan lain yang menyakitkan. Dalam
kategori qiyas, disebut awlawi (illat di dalam pokok [berkata 'hus'],
lebih rendah ketimbang illat di dalam cabang [memukul, menendang,
dst]).
Contoh mafhum muwafaqah fahwal khithab: "Innal ladzina ya'kuluna
amwalal yatama dhulman…" (QS. An-Nisa'/4: 10):
"Sesunggunya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
aniaya…"Mafhum-nya, tidak boleh membakar, menghilangkan, melenyapkan,
menenggelamkan, dst. Dalam kategori qiyas, disebut musawi (illat di
dalam pokok [makan], sama tinggi dengan illat di dalam cabang
[membakar, menenggelamkan, dst]).
Umar ibn Khattab adalah bapak ijtihad yang berani keluar dari
tekstualitas manthuq, menuju kontekstualitas mafhum. Ijtihad Umar yang
terkenal, yang sekilas menyelisihi teks adalah terkait dengan
penghapusan kategori mu'allaf dalam mustahiq zakat, penolakan Umar
terkait pembagian fay berupa tanah pertanian di Syam, Irak, Mesir, dan
Persia, dan moratorium had potong tangan bagi pencuri di musim
paceklik (maja'ah). (Lihat, Muhammad Bultajiy, Manhaj Umar ibn
al-Khattâb fi al-Tasyrî (Cairo: Dâr al-Fikr al-Arabi, 1970).
Contoh-contoh jenis ayat Al-Qur'an diungkapkan untuk menunjukkan gaya
bahasa Al-Qur'an yang berimplikasi terhadap kedudukannya dalam
pengambilan dalil. Tanpa mengenal dan memahami karakteristik ayat,
seorang mujtahid dapat terjatuh dalam kesalahan, karena misalnya,
berhujjah dengan dalil yang sudah di-nasakhatau menghukumi 'am padahal
khas, meyakini muthlaq padahal muqayyad, menganggap muhkam padahal
mutasyabih.
Metode bayan yang dipelopori Imam Syafi'i, yaitu mendatangkan
keterangan firman dengan mengenali jenis-jenis ayatnya, sangat
esensial dalam proses penggalian hukum. Jika suatu perkara termaktub
jelas hukumnya di dalam Al-Qur'an, maka itulah hukumnya. Tetapi jika
tidak tersebut atau tersebut tetapi samar, maka bayan berikutnya yang
harus didatangkan adalah sunah Nabi, baik yang berujud ucapan
(qawlan), perbuatan (fi'lan), maupun penetapan (taqririyyan).
(Oleh M Kholid Syeirazi , Sekjen PP ISNU, nu.or.id)
Haqiqia dalah ayat di dalam Al-Qur'an dengan lafal tersurat dan tidak
menunjuk makna lain. Sementara majazi adalah ayat yang tidak bisa
dipahami langsung tanpa ta'wil karena bersifat kiasan.
Contoh ayat majazi: "Wa huwa ma'akum ainamâ kuntum" (QS. Al-Hadid/57: 4):
"Dan dia menyertaimu di mana pun kamu berada."
Ayat lain,
"Wa nahnu aqrabu ilayhi min hablil warid" (QS. Qaf/50: 16):
"Dan Kami lebih dekat kepadanya ketimbang urat lehernya."
Ayat lain, "wa ja'a rabbuka wal malaku shaffan shaffan" (QS. Al-Fajr/89: 22):
"Dan datanglah Tuhanmu dan malaikat berbaris-baris."
Sifat Allah dan kedekatannya kepada manusia tidak bisa dipahami secara
harfiah, tetapi harus di-ta'wil.
Ada juga jenis ayat manthuq dan mafhum.
Manthuq adalah ayat yang maknanya tersurat di dalam dhahir lafal,
sementara mafhum maknanya tersirat di luar lafal.
Mafhum terbagi 2 (dua), muwafaqah (maknanya sejalan) dan mukhalafah
(maknanya sebaliknya).
Mafhum muwafaqah terbagi 2 (dua), fahwal khithab dan lahnal khitab.
Contoh mafhum muwafaqah fahwal khithab, "Fala taqul lahumâ uffin" (QS.
Al-Isra'/17: 23):
"Jangan kamu berkata "hus" kepada keduanya." Mafhumnya, tidak boleh
memukul, menendang, dan perbuatan lain yang menyakitkan. Dalam
kategori qiyas, disebut awlawi (illat di dalam pokok [berkata 'hus'],
lebih rendah ketimbang illat di dalam cabang [memukul, menendang,
dst]).
Contoh mafhum muwafaqah fahwal khithab: "Innal ladzina ya'kuluna
amwalal yatama dhulman…" (QS. An-Nisa'/4: 10):
"Sesunggunya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
aniaya…"Mafhum-nya, tidak boleh membakar, menghilangkan, melenyapkan,
menenggelamkan, dst. Dalam kategori qiyas, disebut musawi (illat di
dalam pokok [makan], sama tinggi dengan illat di dalam cabang
[membakar, menenggelamkan, dst]).
Umar ibn Khattab adalah bapak ijtihad yang berani keluar dari
tekstualitas manthuq, menuju kontekstualitas mafhum. Ijtihad Umar yang
terkenal, yang sekilas menyelisihi teks adalah terkait dengan
penghapusan kategori mu'allaf dalam mustahiq zakat, penolakan Umar
terkait pembagian fay berupa tanah pertanian di Syam, Irak, Mesir, dan
Persia, dan moratorium had potong tangan bagi pencuri di musim
paceklik (maja'ah). (Lihat, Muhammad Bultajiy, Manhaj Umar ibn
al-Khattâb fi al-Tasyrî (Cairo: Dâr al-Fikr al-Arabi, 1970).
Contoh-contoh jenis ayat Al-Qur'an diungkapkan untuk menunjukkan gaya
bahasa Al-Qur'an yang berimplikasi terhadap kedudukannya dalam
pengambilan dalil. Tanpa mengenal dan memahami karakteristik ayat,
seorang mujtahid dapat terjatuh dalam kesalahan, karena misalnya,
berhujjah dengan dalil yang sudah di-nasakhatau menghukumi 'am padahal
khas, meyakini muthlaq padahal muqayyad, menganggap muhkam padahal
mutasyabih.
Metode bayan yang dipelopori Imam Syafi'i, yaitu mendatangkan
keterangan firman dengan mengenali jenis-jenis ayatnya, sangat
esensial dalam proses penggalian hukum. Jika suatu perkara termaktub
jelas hukumnya di dalam Al-Qur'an, maka itulah hukumnya. Tetapi jika
tidak tersebut atau tersebut tetapi samar, maka bayan berikutnya yang
harus didatangkan adalah sunah Nabi, baik yang berujud ucapan
(qawlan), perbuatan (fi'lan), maupun penetapan (taqririyyan).
(Oleh M Kholid Syeirazi , Sekjen PP ISNU, nu.or.id)
Komentar
Posting Komentar