Kiai Zainul Arifin memainkan peran besar pada episode perjuangan
bangsa Indonesia, baik pra maupun pasca kemerdekaan. Perjuangan laskar
Hizbullah yang dikomando Kiai Zainul Arifin pada peristiwa November
1945 di Surabaya dikenang sebagai peristiwa heroik. Masa setelah
kemerdekaan menjadi ujian bagi pejuang negeri. Kiai Zainul Arifin
terus bergerak untuk mengomando laskar santri, barisan Hizbullah untuk
berkoordinasi dengan tentara pimpinan Jendral Soedirman (1916-1950).
Dalam catatan Saifuddin Zuhri (2001: 355), beberapa pemimpin cabang
Laskar Hizbullah sering berkumpul bersama di Yogyakarta, karena
panggilan rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
(parlemen). Kiai Zainul Arifin, sebagai Ketua Markas Tertinggi
Hizbullah, juga sering bertandang ke Yogyakarta untuk rapat. Selain
itu, ada juga Wahib Wahab (Hizbullah Surabaya), Abdullah Siddiq
(Hizbullah Jember), Amir (Hizbullah Malang), Bakrin (Hibzullah
Pekalongan), Munawar (Hizullah Solo) dan Saifuddin Zuhri (Hizbullah
Magelang). Mereka berkumpul untuk mengabdi pada negeri, sekaligus
mengonsolidasi barisan laskar santri.
Ketika terjadi agresi militer II pada Desember 1948, pasukan Belanda
berhasil menjatuhkan Yogyakarta, serta menahan Soekarno Hatta. Tentu
saja, pada masa krisis ini, BP KNIP tidak berfungsi secara maksimal.
Kiai Zainul Arifin, kemudian terlibat sebagai anggota Komisariat
Pemerintah Pusat di Jawa, bagian dari Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pada masa ini,
Zainul Arifin bertugas mengkonsolidasi laskar-laskar militer untuk
membantu tentara untuk bergerilya di bawah komando Jendral Soedirman.
Ketika kondisi sudah aman, serta pemerintah RI memegang kendali,
terjadi penyatuan seluruh elemen laskar militer ke dalam satu wadah
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kiai Zainul Arifin dipercaya sebagai
Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI, karena jasa besarnya pada masa
perjuangan. Akan tetapi, ketika banyak mantan anggota Hizbullah yang
tidak bisa diterima sebagai anggota TNI karena alasan ijazah formal
serta tidak mendapat pendidikan modern, Zainul memilih mengundurkan
diri. Inilah jiwa besar Kiai Zainul Arifin dalam berjuang untuk
mengomando pasukan pemuda santri.
Kiai Zainul Arifin memilih jalan pengabdian, ia berkiprah di jalur
politik sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS, lalu wakil Partai
Nahdlatul Ulama pada 1952. Pada 1953, Kiai Zainul Arifin menjadi Wakil
Perdana Menteri (Waperdam) pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I
(1953-1955). Prestasi besar Kiai Zainul Arifin, pada 1955 ketika
Pemilu, berhasil mengantarkan Partai NU menjadi sebagai tiga besar
pemenang, dengan mendapat 45 kursi, dari sebelumnya 8 kursi. Kiai
Zainul Arifin bersama Kiai Wahab Chasbullah dan beberapa kiai lain,
bekerja keras untuk mengerahkan stategi politik demi Nahdlatul Ulama
dan pesantren.
Sebagai pemimpin laskar militer santri, dengan keahlian diplomasi,
dukungan politik dan luasnya jaringan,
Kiai Zainul Arifin juga dekat dengan presiden Soekarno. Pada 1955 ia
pernah bersama Soekarno pergi haji ke tanah suci. Sebagai tamu
kenegaraan, Kiai Zainul Arifin diberi hadiah pedang berlapis emas oleh
Raja Arab Saudi.
Pasca pemilu 1955, Kiai Zainul Arifin juga mendapat amanah menjabat
anggota Majelis Konstituante. Lembaga ini akhirnya dibubarkan oleh
Soekarno pada 5 Juli 1959 karena gagal merumuskan UUD baru. Setelah
dekrit dikeluarkan Soekarno, konsitusi Indonesia dinyatakan kembali
pada UUD 1945. Pada masa inilah, dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin,
dengan kekuasaan pada diri Soekarno, yang bersikeras menerapkan paham
NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) pada satu barisan politik.
Di tengah situasi ini, suhu politik meningkat karena pengaruh kelompok
yang tidak setuju dengan kebijakan Soekarno, terutama pihak partai
Islam yang menolak PKI.
Pada 14 Mei 1962, suhu politik meningkat tinggi, ketika Shalat Idul
Adha di barisan terdepan bersama Soekarno, Kiai Zainul Arifin
tertembak oleh aksi pembunuh yang ingin menyerang presiden Soekarno.
Kiai Zainul wafat pada 2 Maret 1963, di RSPAD Gatot Soebroto setelah
menderita sakit selama sekitar 10 bulan.
Negeri berduka atas wafatnya komandan laskar santri yang berjuang
untuk negeri, sosok santri yang tulus mengabdi di bumi pertiwi.
(Oleh Munawir Aziz, Penulis adalah Wakil Sekretaris Lembaga Ta'lif wan
Nasyr PBNU, peneliti Islam Nusantara). (Twitter: @MunawirAziz)
Referensi:
Ario Helmy. KH. Zainul Arifin Pohan, Panglima Santri: Ikhlas Membangun
Negeri.Jakarta: Pustaka Compass. 2015.
Hairus Salim. Kelompok Paramiliter NU. Yogyakarta: LKIS. 2004.
M. Hasyim Latief. Laskar Hizbullah: Berjuang Menegakkan Negara RI.
Jakarta: LTN PBNU, 1995.
Saifuddin Zuhri. Guruku Orang-Orang Pesantren. Yogyakarta: LKIS. 2001
Tashadi.
Sejarah Perjuangan Hizbullah Sabilillah: Divisi Sunan Bonang.
Yayasan Bhakti Utama. 1997. (nu.or.id)
bangsa Indonesia, baik pra maupun pasca kemerdekaan. Perjuangan laskar
Hizbullah yang dikomando Kiai Zainul Arifin pada peristiwa November
1945 di Surabaya dikenang sebagai peristiwa heroik. Masa setelah
kemerdekaan menjadi ujian bagi pejuang negeri. Kiai Zainul Arifin
terus bergerak untuk mengomando laskar santri, barisan Hizbullah untuk
berkoordinasi dengan tentara pimpinan Jendral Soedirman (1916-1950).
Dalam catatan Saifuddin Zuhri (2001: 355), beberapa pemimpin cabang
Laskar Hizbullah sering berkumpul bersama di Yogyakarta, karena
panggilan rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
(parlemen). Kiai Zainul Arifin, sebagai Ketua Markas Tertinggi
Hizbullah, juga sering bertandang ke Yogyakarta untuk rapat. Selain
itu, ada juga Wahib Wahab (Hizbullah Surabaya), Abdullah Siddiq
(Hizbullah Jember), Amir (Hizbullah Malang), Bakrin (Hibzullah
Pekalongan), Munawar (Hizullah Solo) dan Saifuddin Zuhri (Hizbullah
Magelang). Mereka berkumpul untuk mengabdi pada negeri, sekaligus
mengonsolidasi barisan laskar santri.
Ketika terjadi agresi militer II pada Desember 1948, pasukan Belanda
berhasil menjatuhkan Yogyakarta, serta menahan Soekarno Hatta. Tentu
saja, pada masa krisis ini, BP KNIP tidak berfungsi secara maksimal.
Kiai Zainul Arifin, kemudian terlibat sebagai anggota Komisariat
Pemerintah Pusat di Jawa, bagian dari Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pada masa ini,
Zainul Arifin bertugas mengkonsolidasi laskar-laskar militer untuk
membantu tentara untuk bergerilya di bawah komando Jendral Soedirman.
Ketika kondisi sudah aman, serta pemerintah RI memegang kendali,
terjadi penyatuan seluruh elemen laskar militer ke dalam satu wadah
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kiai Zainul Arifin dipercaya sebagai
Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI, karena jasa besarnya pada masa
perjuangan. Akan tetapi, ketika banyak mantan anggota Hizbullah yang
tidak bisa diterima sebagai anggota TNI karena alasan ijazah formal
serta tidak mendapat pendidikan modern, Zainul memilih mengundurkan
diri. Inilah jiwa besar Kiai Zainul Arifin dalam berjuang untuk
mengomando pasukan pemuda santri.
Kiai Zainul Arifin memilih jalan pengabdian, ia berkiprah di jalur
politik sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS, lalu wakil Partai
Nahdlatul Ulama pada 1952. Pada 1953, Kiai Zainul Arifin menjadi Wakil
Perdana Menteri (Waperdam) pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I
(1953-1955). Prestasi besar Kiai Zainul Arifin, pada 1955 ketika
Pemilu, berhasil mengantarkan Partai NU menjadi sebagai tiga besar
pemenang, dengan mendapat 45 kursi, dari sebelumnya 8 kursi. Kiai
Zainul Arifin bersama Kiai Wahab Chasbullah dan beberapa kiai lain,
bekerja keras untuk mengerahkan stategi politik demi Nahdlatul Ulama
dan pesantren.
Sebagai pemimpin laskar militer santri, dengan keahlian diplomasi,
dukungan politik dan luasnya jaringan,
Kiai Zainul Arifin juga dekat dengan presiden Soekarno. Pada 1955 ia
pernah bersama Soekarno pergi haji ke tanah suci. Sebagai tamu
kenegaraan, Kiai Zainul Arifin diberi hadiah pedang berlapis emas oleh
Raja Arab Saudi.
Pasca pemilu 1955, Kiai Zainul Arifin juga mendapat amanah menjabat
anggota Majelis Konstituante. Lembaga ini akhirnya dibubarkan oleh
Soekarno pada 5 Juli 1959 karena gagal merumuskan UUD baru. Setelah
dekrit dikeluarkan Soekarno, konsitusi Indonesia dinyatakan kembali
pada UUD 1945. Pada masa inilah, dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin,
dengan kekuasaan pada diri Soekarno, yang bersikeras menerapkan paham
NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) pada satu barisan politik.
Di tengah situasi ini, suhu politik meningkat karena pengaruh kelompok
yang tidak setuju dengan kebijakan Soekarno, terutama pihak partai
Islam yang menolak PKI.
Pada 14 Mei 1962, suhu politik meningkat tinggi, ketika Shalat Idul
Adha di barisan terdepan bersama Soekarno, Kiai Zainul Arifin
tertembak oleh aksi pembunuh yang ingin menyerang presiden Soekarno.
Kiai Zainul wafat pada 2 Maret 1963, di RSPAD Gatot Soebroto setelah
menderita sakit selama sekitar 10 bulan.
Negeri berduka atas wafatnya komandan laskar santri yang berjuang
untuk negeri, sosok santri yang tulus mengabdi di bumi pertiwi.
(Oleh Munawir Aziz, Penulis adalah Wakil Sekretaris Lembaga Ta'lif wan
Nasyr PBNU, peneliti Islam Nusantara). (Twitter: @MunawirAziz)
Referensi:
Ario Helmy. KH. Zainul Arifin Pohan, Panglima Santri: Ikhlas Membangun
Negeri.Jakarta: Pustaka Compass. 2015.
Hairus Salim. Kelompok Paramiliter NU. Yogyakarta: LKIS. 2004.
M. Hasyim Latief. Laskar Hizbullah: Berjuang Menegakkan Negara RI.
Jakarta: LTN PBNU, 1995.
Saifuddin Zuhri. Guruku Orang-Orang Pesantren. Yogyakarta: LKIS. 2001
Tashadi.
Sejarah Perjuangan Hizbullah Sabilillah: Divisi Sunan Bonang.
Yayasan Bhakti Utama. 1997. (nu.or.id)
Komentar
Posting Komentar