Kedua, pertempuran yang menghadapi tentara sekutu, lebih baik dihadapi
oleh prajurit profesional, yakni tentara Dai Nippon. Sedangkan, jika
menggunakan tentara yang tidak profesional hanya akan menyulitkan
tentara Jepang sendiri. Ketiga, jika PETA (Pembela Tanah Air)
ditunjukkan untuk pemuda nasionalis, sudah semestinya ada wadah bagi
pemuda santri untuk latihan kemiliteran (Zuhri, 1974; 1987).
Sedangkan, Hairus Salim (2004: 41) menambahkan satu alasan diplomatis
dari Kiai Wahi Hasyim, terutama mengapa harus ada satu wadah untuk
latihan kemiliteran bagi santri, yakni adanya kewajiban berperang
untuk mempertahankan agama Allah (jihad fi sabilillah).
Pada latihan awal, pemuda santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah
digembleng oleh Kapten Yanagawa, yang juga melatihan PETA. Latihan ini
berlangsung di Cibarusah, Jawa Barat. Latihan militer pemuda santri,
berlangsung selama tiga bulan, yang dipimpin oleh para Sydanco PETA.
Kemudian, setelah latihan usai, 500 kader ini kemudian kembali ke desa
masing-masing, untuk melatih kader-kader pemuda santri di kawasan
setempat. Salim (2004), mencatat bahwa hingga akhir rezim Jepang di
Indonesia, tercatat sekitar 50.000 angota laskar Hizbullah yang telah
mendapatkan latihan militer.
Latihan perdana Laskar Hizbullah, tanggal 28 Februari 1945, yang
dihadiri oleh Gunseikan, para perwira Jepang, Pimpinan Pusat Masyumi,
Pangreh Raja dan pejabat terkait diumumkan betapa misi Hizbullah
adalah untuk berjuang bersama Dai Nippon, melawan musuh yang zalim.
Gunseikan, dalam pidatonya, menegaskan bahwa: "Berhubung dengan nasib
Asia Timur Raya, maka masa sekarang adalah masa yang amat penting yang
belum pernah dialami atau terjadi di dalam sejarah. Dalam saat yang
demikian itu telah bangkit segenap umat Islam di Jawa, serta berjanji
akan berjuang "luhur bersama dan lebur bersama" dengan bala tentara
Dai Nippon. Buktinya, ialah pembentukan barisan muda Islam yang
bernama Hizbullah. Dengan demikian lahirkan tujuan untuk menghancurkan
musuh yang zalim dan perjuangan dengan segenap jiwa dan raga, maka
saya sangat gembira membuka latihan pusat Barisan Hizbullah ini...
(Latif, 1995: 20, Salim, 2004: 42).
Dengan demikian, yang dimaksud oleh pemerintah Jepang bahwa musuh
bersama dari bangsa Indonesia dan Jepang, merupakan tentara sekutu
yang berusaha menjajah Asia. Jepang merasa sebagai pembebas bangsa
Asia, hingga menyebut diri sebagai "Saudara Tua" bangsa Asia.
Oleh Kiai Wahid Hasyim, pelatihan militer dimaksudkan untuk menguatkan
barisan santri jika nantinya Indonesia sudah saatnya menjemput
kemerdekaan. Benar saja, pada 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka,
disusul dengan peristiwa demi peristiwa yang membutuhkan konsolidasi
dan kekuatan militer, di antaranya pada peristiwa 10 Nopember 1945 di
Surabaya.
Ketika para pemimpin bangsa memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada
17 Agustus 1945, pemerintah Hindia Belanda tidak rela atas keputusan
politik ini. Hindia Belanda tetap ingin menguasai Indonesia sebagai
ladang ekonomi dan jajahan politik. Keinginan Belanda, terbukti dengan
hadirnya tentara Sekutu, serta tentara NICA (Netherlands Indische
Civil Administrative).
Tentu saja, kedatangan tentara ini membuat warga Indonesia marah. Kota
Surabaya dan beberapa kota lain menjadi saksi kemarahan warga ketika
tentara Sekutu mengintimidasi. Pada 19 September 1945, terjadi
perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato. Peristiwa ini, sekaligus
menjadi tanda kemarahan rakyat atas invasi tentara sekutu dan NICA.
Situasi negeri menjadi kacau dan warga menjadi tersulut kemarahan
karena intimidasi tentara Sekutu. Situasi pertahanan negara sedang
diuji, apalagi ketika negara Indonesia baru saja merdeka. Sistem
birokrasi, pemerintahan dan barisan militer masih sangat lemah. Pada
saat itulah, laskar-laskar santri memainkan peran penting untuk
mengkonsolidasi kekuatan rakyat. Pada 22 Oktober 1945, para kiai
menyatakan rumusan tentang Resolusi Jihad.
Kiai Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa untuk menggemakan Resolusi
Jihad. Fatwa Kiai Hasyim inilah yang kemudian melecut semangat santri
dan warga di kawasan Jawa Timur, dan kawasan lainnya untuk berjuang
melawan penjajah.
Pada 25 Oktober 1945, tentara sekutu mendarat di Surabaya. Pasukan
Sekutu di kota Surabaya, terdiri atas 5000 pasukan dari kesatuan 49
Infanteri di bawah pimpinan Jenderal AWS Mallaby (1899-1945).
Pertempuran berlangsung selama beberapa hari. Api semangat kaum santri
dan warga membara, dengan dukungan para kiai dan kuatnya jaringan
laskar. Puncaknya, 10 November 1945, pemuda santri dan warga sekitar
Surabaya berhasil memukul mundur pasukan Sekutu, dengan tewasnya
Jendral AWS Mallaby pada peristiwa sebelumnya, 30 Oktober 1945.
(bersambung)
oleh prajurit profesional, yakni tentara Dai Nippon. Sedangkan, jika
menggunakan tentara yang tidak profesional hanya akan menyulitkan
tentara Jepang sendiri. Ketiga, jika PETA (Pembela Tanah Air)
ditunjukkan untuk pemuda nasionalis, sudah semestinya ada wadah bagi
pemuda santri untuk latihan kemiliteran (Zuhri, 1974; 1987).
Sedangkan, Hairus Salim (2004: 41) menambahkan satu alasan diplomatis
dari Kiai Wahi Hasyim, terutama mengapa harus ada satu wadah untuk
latihan kemiliteran bagi santri, yakni adanya kewajiban berperang
untuk mempertahankan agama Allah (jihad fi sabilillah).
Pada latihan awal, pemuda santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah
digembleng oleh Kapten Yanagawa, yang juga melatihan PETA. Latihan ini
berlangsung di Cibarusah, Jawa Barat. Latihan militer pemuda santri,
berlangsung selama tiga bulan, yang dipimpin oleh para Sydanco PETA.
Kemudian, setelah latihan usai, 500 kader ini kemudian kembali ke desa
masing-masing, untuk melatih kader-kader pemuda santri di kawasan
setempat. Salim (2004), mencatat bahwa hingga akhir rezim Jepang di
Indonesia, tercatat sekitar 50.000 angota laskar Hizbullah yang telah
mendapatkan latihan militer.
Latihan perdana Laskar Hizbullah, tanggal 28 Februari 1945, yang
dihadiri oleh Gunseikan, para perwira Jepang, Pimpinan Pusat Masyumi,
Pangreh Raja dan pejabat terkait diumumkan betapa misi Hizbullah
adalah untuk berjuang bersama Dai Nippon, melawan musuh yang zalim.
Gunseikan, dalam pidatonya, menegaskan bahwa: "Berhubung dengan nasib
Asia Timur Raya, maka masa sekarang adalah masa yang amat penting yang
belum pernah dialami atau terjadi di dalam sejarah. Dalam saat yang
demikian itu telah bangkit segenap umat Islam di Jawa, serta berjanji
akan berjuang "luhur bersama dan lebur bersama" dengan bala tentara
Dai Nippon. Buktinya, ialah pembentukan barisan muda Islam yang
bernama Hizbullah. Dengan demikian lahirkan tujuan untuk menghancurkan
musuh yang zalim dan perjuangan dengan segenap jiwa dan raga, maka
saya sangat gembira membuka latihan pusat Barisan Hizbullah ini...
(Latif, 1995: 20, Salim, 2004: 42).
Dengan demikian, yang dimaksud oleh pemerintah Jepang bahwa musuh
bersama dari bangsa Indonesia dan Jepang, merupakan tentara sekutu
yang berusaha menjajah Asia. Jepang merasa sebagai pembebas bangsa
Asia, hingga menyebut diri sebagai "Saudara Tua" bangsa Asia.
Oleh Kiai Wahid Hasyim, pelatihan militer dimaksudkan untuk menguatkan
barisan santri jika nantinya Indonesia sudah saatnya menjemput
kemerdekaan. Benar saja, pada 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka,
disusul dengan peristiwa demi peristiwa yang membutuhkan konsolidasi
dan kekuatan militer, di antaranya pada peristiwa 10 Nopember 1945 di
Surabaya.
Ketika para pemimpin bangsa memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada
17 Agustus 1945, pemerintah Hindia Belanda tidak rela atas keputusan
politik ini. Hindia Belanda tetap ingin menguasai Indonesia sebagai
ladang ekonomi dan jajahan politik. Keinginan Belanda, terbukti dengan
hadirnya tentara Sekutu, serta tentara NICA (Netherlands Indische
Civil Administrative).
Tentu saja, kedatangan tentara ini membuat warga Indonesia marah. Kota
Surabaya dan beberapa kota lain menjadi saksi kemarahan warga ketika
tentara Sekutu mengintimidasi. Pada 19 September 1945, terjadi
perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato. Peristiwa ini, sekaligus
menjadi tanda kemarahan rakyat atas invasi tentara sekutu dan NICA.
Situasi negeri menjadi kacau dan warga menjadi tersulut kemarahan
karena intimidasi tentara Sekutu. Situasi pertahanan negara sedang
diuji, apalagi ketika negara Indonesia baru saja merdeka. Sistem
birokrasi, pemerintahan dan barisan militer masih sangat lemah. Pada
saat itulah, laskar-laskar santri memainkan peran penting untuk
mengkonsolidasi kekuatan rakyat. Pada 22 Oktober 1945, para kiai
menyatakan rumusan tentang Resolusi Jihad.
Kiai Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa untuk menggemakan Resolusi
Jihad. Fatwa Kiai Hasyim inilah yang kemudian melecut semangat santri
dan warga di kawasan Jawa Timur, dan kawasan lainnya untuk berjuang
melawan penjajah.
Pada 25 Oktober 1945, tentara sekutu mendarat di Surabaya. Pasukan
Sekutu di kota Surabaya, terdiri atas 5000 pasukan dari kesatuan 49
Infanteri di bawah pimpinan Jenderal AWS Mallaby (1899-1945).
Pertempuran berlangsung selama beberapa hari. Api semangat kaum santri
dan warga membara, dengan dukungan para kiai dan kuatnya jaringan
laskar. Puncaknya, 10 November 1945, pemuda santri dan warga sekitar
Surabaya berhasil memukul mundur pasukan Sekutu, dengan tewasnya
Jendral AWS Mallaby pada peristiwa sebelumnya, 30 Oktober 1945.
(bersambung)
Komentar
Posting Komentar