Selama 15 tahun Lebanon pecah perang saudara, yang dilatar belakangi agama.
4 tahun Suriah berantakan karena isu agama. Libya sampai sekarang
hancur menjadi negara gagal, tempat bersarangnya teroris berbaju gamis
sesudah pemersatu mereka, Muammar Qaddafi di kudeta. Irak setiap
minggu terjadi minimal satu kali bom bunuh diri di pusat keramaian dan
tempat ibadah yang menewaskan banyak orang.
Belajar dari situasi mereka, kita menjadi paham bahwa keragaman itu
sangat mahal harganya. Mereka dulu awalnya seperti kita, persis
seperti kita sekarang.
Duduk minum kopi setiap sore sambil ngobrol politik adalah kebiasaan
orang-orang timur tengah. Kehidupan mereka sangat biasa, layaknya
kehidupan normal. Tidak ada yang mengira bahwa semua itu berubah 180
derajat.
Awalnya isu-isu biasa yang dihembuskan. Kemudian terbentuk ormas-ormas
militan. Semakin lama semakin meluas dan meruncing ke arah sektarian.
Dan kemudian masuklah orang-orang asing yang bergabung bersama orang
lokal untuk membangun keributan.
Jangan salah, orang-orang asing ini berbaju sama dengan yang lokal
bahkan beragama sama. Mereka membaurkan diri di tengah-tengah.
Titik-titik api biasanya dimulai di perbatasan-perbatasan (ingatkah di
mana posisi Tolikara dan Singkil ? ). Ketika di sana rusuh, maka
terbukalah pintu perbatasan untuk masuknya para jihadis-jihadis dari
banyak negara. Mereka bukan tentara. Mereka sipil yang militan.
Sesudah chaos, pemerintahan goyang bahkan sampai jatuh, masuklah si
polisi dunia dengan kendaraan NATO-nya. NATO ini kendaraan perang bagi
koalisi negara yang punya kepentingan. Mereka masuk ke medan perang,
seolah-olah sebagai dewa penengah tapi sesungguhnya mereka membantu
meluaskan wilayah perang. Mereka memasok amunisi dan senjata yang
diterjunkan dari pesawat-pesawat kepada para militan.
Para militan ini memang seperti pembuka jalan untuk NATO. Dan ini
sudah diakui langsung oleh Hillary Clinton, bahwa merekalah yang
mendanai militan berbaju islam dengan paham wahabi itu. Awalnya AS
ikut campur di afghanistan dengan membiayai mujahidin di sana untuk
memerangi Uni Sovyet. Sesudah mujahidin menang dengan persenjataan
yang dipasok mereka, AS akhirnya memanfaatkan mereka untuk meluaskan
skalanya ke timur tengah dengan membentuk organisasi-organisasi
radikal seperti Al Qaeda dan sekarang ISIS. Mereka berkoalisi dengan
Saudi dan Qatar untuk ini.
Ulama-ulama wahabi di negara itu dibayar untuk memfatwakan jihad dan
surga kepada para militan. Fatwa mereka menyerang pimpinan negara yang
dituju, entah dia akhirnya dituding syiah kafir seperti Bashar assad
maupun sunni kafir seperti Qaddafi.
Polanya sama dengan yang ada di Indonesia, meski modelnya disesuaikan
dengan situasi di masing-masing negara.
Apa yang tidak terjadi disini sekarang ? Ormas militan,
mengkafir-kafirkan ulama besar, isu syiah, gesekan dengan kristen,
parade tauhid sebagai unjuk kekuatan, pembentukan jaringan aliansi
nasional anti syiah di seluruh Jawa dan banyak lagi yang seharusnya
membuat mata kita terbuka situasi ini nanti akan mengerucut kemana.
Sedangkan aparat juga tidak bisa sembarangan menangkapi mereka jika
perangkat hukumnya belum kuat. Salah langkah, akibatnya akan
menguntungkan para radikal. Situasinya sudah beda dengan era Soeharto
dimana pada waktu itu belum ada media sosial yang menghubungkan
seluruh dunia dalam satu layar. Bisa-bisa pelarangan dan penangkapan
para radikal tanpa alasan yang kuat seperti perusakan, menjadi ajang
propaganda mereka karena dizolimi pemerintah. Mereka akan menyalakan
semangat jihad kemana-mana bahwa aparat bertindak otoriter. Bisa
seperti Mesir negara kita berbulan-bulan dilanda kerusuhan.
Membuka wawasan terhadap situasi yang berkembang di timur tengah dan
mengamati persamaan polanya adalah bagian dari meningkatkan
kewaspadaan. Sekarang ini kita masih pada tahap perang pemikiran di
media sosial, tapi nanti ujungnya akan masuk pada perang fisik.
Apalagi melihat pemerintah sudah mulai mengutik Freeport dan masalah
royaltinya juga kontrak perpanjangannya yang menyalahi perjanjian. Apa
AS akan diam saja ? Bukan begitu sifat asli mereka.
Momentum sumpah pemuda ini seharusnya membuka kesadaran, terutama
kepada para pemuda apapun latar belakangnya, bahwa wawasan politik
sangat penting terutama pada situasi sekarang. Memahami akar masalah
sudah menjadi keharusan. Memperingatkan potensi bahayanya kepada
sekitar adalah kewajiban. Setidak-tidaknya itulah senjata pemuda yang
berpikiran cerdas dan berwawasan luas sekarang ini.
Jangan jadi pemuda alay, yang rambutnya disisir ke-korea-koreaan,
meski wajahnya hidung semua. Gerak geriknya kayak anak boyband, yang
kalau liat celana warna terang trus girang dan kakinya
menendang-nendang ke tanah kayak kambing kepanasan. Kalau ditanya
situasi politik sekarang jawabannya terbata-bata dan langsung
mengalihkan topik salon mana yang menarik. Rambut dicat pirang meski
kulitnya hitam gelam. Kalau bicara , "cyiiinnn.. " Can cin can cin..
Muke lu kayak mocin... Astaghfirullah
4 tahun Suriah berantakan karena isu agama. Libya sampai sekarang
hancur menjadi negara gagal, tempat bersarangnya teroris berbaju gamis
sesudah pemersatu mereka, Muammar Qaddafi di kudeta. Irak setiap
minggu terjadi minimal satu kali bom bunuh diri di pusat keramaian dan
tempat ibadah yang menewaskan banyak orang.
Belajar dari situasi mereka, kita menjadi paham bahwa keragaman itu
sangat mahal harganya. Mereka dulu awalnya seperti kita, persis
seperti kita sekarang.
Duduk minum kopi setiap sore sambil ngobrol politik adalah kebiasaan
orang-orang timur tengah. Kehidupan mereka sangat biasa, layaknya
kehidupan normal. Tidak ada yang mengira bahwa semua itu berubah 180
derajat.
Awalnya isu-isu biasa yang dihembuskan. Kemudian terbentuk ormas-ormas
militan. Semakin lama semakin meluas dan meruncing ke arah sektarian.
Dan kemudian masuklah orang-orang asing yang bergabung bersama orang
lokal untuk membangun keributan.
Jangan salah, orang-orang asing ini berbaju sama dengan yang lokal
bahkan beragama sama. Mereka membaurkan diri di tengah-tengah.
Titik-titik api biasanya dimulai di perbatasan-perbatasan (ingatkah di
mana posisi Tolikara dan Singkil ? ). Ketika di sana rusuh, maka
terbukalah pintu perbatasan untuk masuknya para jihadis-jihadis dari
banyak negara. Mereka bukan tentara. Mereka sipil yang militan.
Sesudah chaos, pemerintahan goyang bahkan sampai jatuh, masuklah si
polisi dunia dengan kendaraan NATO-nya. NATO ini kendaraan perang bagi
koalisi negara yang punya kepentingan. Mereka masuk ke medan perang,
seolah-olah sebagai dewa penengah tapi sesungguhnya mereka membantu
meluaskan wilayah perang. Mereka memasok amunisi dan senjata yang
diterjunkan dari pesawat-pesawat kepada para militan.
Para militan ini memang seperti pembuka jalan untuk NATO. Dan ini
sudah diakui langsung oleh Hillary Clinton, bahwa merekalah yang
mendanai militan berbaju islam dengan paham wahabi itu. Awalnya AS
ikut campur di afghanistan dengan membiayai mujahidin di sana untuk
memerangi Uni Sovyet. Sesudah mujahidin menang dengan persenjataan
yang dipasok mereka, AS akhirnya memanfaatkan mereka untuk meluaskan
skalanya ke timur tengah dengan membentuk organisasi-organisasi
radikal seperti Al Qaeda dan sekarang ISIS. Mereka berkoalisi dengan
Saudi dan Qatar untuk ini.
Ulama-ulama wahabi di negara itu dibayar untuk memfatwakan jihad dan
surga kepada para militan. Fatwa mereka menyerang pimpinan negara yang
dituju, entah dia akhirnya dituding syiah kafir seperti Bashar assad
maupun sunni kafir seperti Qaddafi.
Polanya sama dengan yang ada di Indonesia, meski modelnya disesuaikan
dengan situasi di masing-masing negara.
Apa yang tidak terjadi disini sekarang ? Ormas militan,
mengkafir-kafirkan ulama besar, isu syiah, gesekan dengan kristen,
parade tauhid sebagai unjuk kekuatan, pembentukan jaringan aliansi
nasional anti syiah di seluruh Jawa dan banyak lagi yang seharusnya
membuat mata kita terbuka situasi ini nanti akan mengerucut kemana.
Sedangkan aparat juga tidak bisa sembarangan menangkapi mereka jika
perangkat hukumnya belum kuat. Salah langkah, akibatnya akan
menguntungkan para radikal. Situasinya sudah beda dengan era Soeharto
dimana pada waktu itu belum ada media sosial yang menghubungkan
seluruh dunia dalam satu layar. Bisa-bisa pelarangan dan penangkapan
para radikal tanpa alasan yang kuat seperti perusakan, menjadi ajang
propaganda mereka karena dizolimi pemerintah. Mereka akan menyalakan
semangat jihad kemana-mana bahwa aparat bertindak otoriter. Bisa
seperti Mesir negara kita berbulan-bulan dilanda kerusuhan.
Membuka wawasan terhadap situasi yang berkembang di timur tengah dan
mengamati persamaan polanya adalah bagian dari meningkatkan
kewaspadaan. Sekarang ini kita masih pada tahap perang pemikiran di
media sosial, tapi nanti ujungnya akan masuk pada perang fisik.
Apalagi melihat pemerintah sudah mulai mengutik Freeport dan masalah
royaltinya juga kontrak perpanjangannya yang menyalahi perjanjian. Apa
AS akan diam saja ? Bukan begitu sifat asli mereka.
Momentum sumpah pemuda ini seharusnya membuka kesadaran, terutama
kepada para pemuda apapun latar belakangnya, bahwa wawasan politik
sangat penting terutama pada situasi sekarang. Memahami akar masalah
sudah menjadi keharusan. Memperingatkan potensi bahayanya kepada
sekitar adalah kewajiban. Setidak-tidaknya itulah senjata pemuda yang
berpikiran cerdas dan berwawasan luas sekarang ini.
Jangan jadi pemuda alay, yang rambutnya disisir ke-korea-koreaan,
meski wajahnya hidung semua. Gerak geriknya kayak anak boyband, yang
kalau liat celana warna terang trus girang dan kakinya
menendang-nendang ke tanah kayak kambing kepanasan. Kalau ditanya
situasi politik sekarang jawabannya terbata-bata dan langsung
mengalihkan topik salon mana yang menarik. Rambut dicat pirang meski
kulitnya hitam gelam. Kalau bicara , "cyiiinnn.. " Can cin can cin..
Muke lu kayak mocin... Astaghfirullah
Komentar
Posting Komentar